Bulan menggantikan shift matahari di langit. Aku sedang ngopi di salah satu warkop yang tidak jauh dari sekolah. Pemilik warkop aku kenal orangnya, Mang Kasja. Beliau adalah oang yang bantu aku keluar dari badan gendut. Mang Kasja adalah teman SMA Ibu dan sahabat ayahku. Uniknya, Mang Kasja sampai sekarang mencari keberadaan ayah sedangkan aku sendiri, anak kandungnya sudah tidak peduli dimana kah dia berada. Bahkan aku curiga dia sudah mati dan diazab malaikat di neraka.
Kata Mang Kasja, ayah adalah seorang aktivis yang suka nyari masalah sama pemerintah sehingga dia perlu hidup nomaden. Tapi kalau kataku, dia hanyalah pria tua yang menanamkan benih pada Ibuku lalu pergi setelah tau dia punya anak laki-laki. Ayah menangis, guling-guling di jalan, dan meludahi seisi rumah saat aku lahir. Kata Ibu, itu ritual dari suku ayah alias ayah bingung kenapa aku lahir sebagai laki-laki. Aku pun bingung alasannya pria tua itu harus segila itu saat aku terlahir sebagai laki-laki. Kalau kata pak RT, pria tua itu bahagia sampai bingung gimana harus bertindak.
Intinya pria tua itu gila. Dia bikin Ibu menangis dan kami sempat hidup miskin akibat dia kabur entah kemana.
"Mik, jaga muka atuh. Kaya monyet betulan lama-lama," ujar Mang Kasja yang tengah asik mengaduk kopi.
Aku ambil gorengan tempe yang tersedia di keranjang kecil. "Udah kaya monyet, Mang. Aku juga sudah terbiasa dipanggil monyet."
Mang Kasja taruh kopi hitam yang aku pesan. "Makanya, bulu di muka dicukur atuh. Bapak kamu itu rapi dan jaga penampilan loh, tiru bapak kamu."
Aku juga penasaran dengan hubungan Mang Kasja dan pria tua itu. Sangat patut dipertanyakan karena Mang Kasja selalu memuja, memuji, membela jika aku menyalahkan pria tua, bahkan mengatakan pria tua itu tampan dan rupawan. Kalau sekedar kekaguman bisa aku maklumi, jika lebih dari kekaguman, perasaan yang mendalam, yaitu menyukai pria gua itu sungguh—
Ah, tidak. Mang Kasja orangnya normal. Dia dan istrinya harmonis. Anak-anaknya sekolah benar dan selalu berkunjung ke warkopnya.
"Rani udah pulang?," tanya Mang Kasja.
"Kakak masih di sekolah, Mang. Sibuk sama OSIS."
Mang Kasja tersenyum cengir. Dia menunjuk ke suatu arah. "Kalau cewek imut itu siapamu, Mik? Dia datang ke arah kamu tuh."
Aku toleh ke arah jari telunjuk Mang Kasja. Betapa kagetnya aku ternyata ada gadis tambun yang berjalan terpincang-pincang karena membawa sebuah bedan berbentuk persegi empat seperti kanvas—sepertinya memanglah sebuah kanvas.
"Mika! Bantuin kek! Malah diliatin!" Teriak si gadis tambun.
Aku hiraukan dia. Asik menguyah tahu goreng isi mihun. Suara dia berjalan pincang, dan suara bergesekan kanvas di jalanan terdengar agak merdu.
"Mik, kamu ini gimana atuh. Ada gadis manis minta bantuan malah asik makan tahu. Bantuin, atuh."
Aku hiraukan juga si Mang Kasja. Malah dia insiatif membantu si gadis tambun membawakan kanvasnya. Si gadis tambun duduk di sebelahku, terasa tatapan matanya hendak menghardikku yang tidak membantunya membawa kanvas. Lagian siapa juga mau kanvas itu dibawa lagi? Aku malah berharap jadi sampah di sekolah dan aku terbebas dari kutukan lukisan itu.
Aku ambil lagi tempe goreng—tidak jadi, langsung dicaplok oleh gadis tambun.
"Mas! Marimas jeruk manis, 2 bungkus!" Ujar si gadis tambun. Tidak cukup satu, langsung dua dia minum.
"Mau apa anda kemari?," tanyaku.
"Kenapa memangnya? Gak boleh? Emang ini warkop punyamu?".