Aku bergegas pergi ke kantor tepat pukul 07.30 pagi, mencegah telat pikirku. Menyebabkan masalah yang cukup fatal kemarin, aku memilih untuk sedikit mengubah kebiasaan burukku. Ini caraku belajar menjadi partner kerja yang lebih baik. Selain itu, balasan pesan ibu tujuh jam lalu memberikanku semangat untuk melakukan hal baik hari ini.
“Bisa kamu pulang, Ann? Sepertinya Ibu butuh kamu”. Pesan singkat delapan kata masih terus terngiang. Sesuatu yang belum hilang dan tidak akan aku usahakan untuk pergi dari pikiranku saat ini.
“Minta cuti nggak mudah loh, Ann. Nggak yakin banget kamu bisa cuti beberapa hari ke depan apalagi karena masalah yang kemarin” jawaban yang Dan berikan setelah aku memberitahunya mengenai keinginanku pulang.
“I know Dan, tapi apa salahnya coba kan?” percaya diri tingkat tinggi kembali lagi dalam diriku. Tak tahu diri mungkin akan menjadi julukanku selanjutnya. Setelah kejadian kemarin, sebenarnya tidak ada yang bisa ku harapkan banyak tentang hal ini.
Berjalan ke ruangan James melewati meja-meja kerja yang belum berpenghuni karena jarum jam masih menunjukkan pukul 07.50 tepat. Perjalanan yang hanya beberapa langkah ini terasa berat. Entah karena memikul bobot badanku yang baru saja naik 5 kg atau tumpukan beban penyesalanku atas masalah kemarin.
Sesampainya di ruangan James, tanpa berbasa-basi aku langsung mengutarakan maksud kedatanganku. Tentunya setelah meminta maaf sekali lagi mengenai kejadian tak mengenakan kemarin. “Boleh saya mengajukan cuti untuk seminggu ke depan, Pak? Saya tahu ini kedengarannya gila sekali. Saya sangat tahu itu. Apalagi setelah kesalahan yang saya buat”, kataku sambil bercerita sedikit mengenai kondisi ibu yang saat ini sedang sakit.
“Anna saya turut berduka dengan apa yang Ibu kamu alami. Tapi kamu tahu aturannya, kan? Justru ini tidak ada hubungannya dengan kesalahan yang baru saja terjadi. Saya tidak bisa memberikan cuti seenaknya saja. Seminggu itu waktu yang cukup lama dan tujuan kamu juga tidak dekat. Saya rasa tidak adil jika menyetujui permintaan kamu untuk saat ini bagi para karyawan lain. Saya harap kamu bisa mengerti”. Tidak ada yang bisa diharapkan dengan permintaanku ini. Aturan tetap aturan. Melihat James sudah tidak semarah kemarin sebenarnya aku merasa sudah cukup lega. Tetapi, aku belum bisa tersenyum. Bagaimana dengan ibu? suasana hatiku tidak akan sebahagia sebelumnya.
“Aturan tetap aturan!”, seruku pada dua sahabat yang sedang memelototiku menunggu hasil perbincangan dengan pak bos.
“Terus gimana Ann? Ibu kamu gimana?”, Tanya Sasha yang sedikit terlambat pada hari ini.
“Belum tahu deh, mungkin aku jaga Ibu via telepon kayak biasa. Sambil berdoa, sambil nangis, dan masang muka pura-pura tegar”, jawabku sambil merapikan meja yang belum sempat tersentuh tanganku.