Lamat-lamat, Farren mengamati gerak gerik Sherra. Wanita itu nampaknya asing dengan suasana pesta karena dari tadi dia hanya celingukan seperti mencari-cari seseorang. Farren meneguk segelas wine di tangannya sekali lagi. Lalu, ingatannya terlempar ketika kali pertama sosok wanita itu menarik perhatiannya. Tepatnya 23 tahun yang lalu.
Kala itu, Farren masih berusia 7 tahun. Terlalu muda baginya untuk mengetahui rumitnya hubungan orang dewasa. Papa mendatangi sebuah Panti Asuhan di pinggiran kota Surabaya untuk menjemput seseorang yang katanya adalah kakaknya.
Dari dalam mobil, Farren kecil mengamati betapa bahagianya ekspresi papa telah menemukan anak dari selingkuhannya yang telah lama hilang. Papa menjemput anak itu untuk tinggal di rumahnya, dan memasuki kehidupan keluarga Farren. Kelak, selamanya anak itu akan menjadi musuh bebuyutan Farren.
“Farren, kenalkan. Dia adalah kakakmu, Benny Saputra. Mulai sekarang, kamu harus menghormatinya!” Santosa mengenalkan Ben kepada Farren sebelum memasuki mobil.
Farren tak bergeming hanya melirik sinis. “Papa membawa pengemis? Walau bagaimana pun dia tak akan pernah menjadi bagian dari keluarga kita!” seru Farren tajam tanpa menoleh ke arah Ben.
Selama ini, Farren hidup sebagai putra tunggal seorang konglomerat dan diperlakukan layaknya raja. Bagaimana mungkin hidupnya akan berubah hanya karena kehadiran Ben yang tak lain adalah anak dari selingkuhan papanya? Bagi Farren, kehadiran Ben adalah ancaman karena setelah ini Farren tak lagi menjadi putra satu-satunya. Segalanya harus berbagi, termasuk kasih sayang Papa.
“Farren, jaga bicara kamu!” bentak Santosa.
Farren membuang muka lalu membuka pintu depan mobil. “Aku nggak mau duduk dekat pengemis!”
Ben tak banyak bicara. Baginya, mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang konglomerat sudah mengejutkan karena selama ini dia hanya mengenal ibunya. Hari demi hari Ben menunggu Ibunya untuk datang menjemputnya. Bagaimana jika nanti Ibu menjemputnya tapi Ben tak ada lagi di sana? Ben bimbang, antara mau naik ke mobil atau tetap tinggal di panti.
“Ayo Ben!” ajak Santosa lembut.
Ben tak punya pilihan. Bukan salahnya jika ia pergi. Bukankah ibunya yang telah menelantarkannya? Lalu bagaimana dengan Sherra? Seseorang yang ingin Ben jaga. Sebelum memasuki mobil, Ben segera menghampiri Sherra yang menangis tersedu karena tidak rela Ben akan meninggalkannya sendirian di panti ini.
“Aku akan sering datang untuk menjengukmu! Jangan menangis! Kita masih bisa berkirim surat!” Ben berikrar. Dihapusnya air mata Sherra dengan punggung tangannya, lalu memeluk Sherra sebagai ucapan salam perpisahan.
Sherra mengangguk lemah, tak mampu bicara selain hanya air mata keluar. Sedemikian singkatkah persahabatan ini?
Pak Santosa - yang kelak akan Ben panggil papa, sudah lama menunggu berakhirnya adegan perpisahan itu. Beliau menepuk punggung Ben, tanda mereka harus segera pergi. Ben pun perlahan melepaskan pelukannya dengan berat hati kemudian memasuki mobil. Lalu, mobil sedan yang membawa Ben itu perlahan melaju meninggalkan halaman Panti Asuhan.
Sherra tak tahan melihat mobil yang membawa Ben menjauh pergi, maka ia pun mengejar sekuat kakinya melangkah.
Ben berpura-pura tegar. Percayalah, perpisahan ini hanya sementara. Aku akan tetap selalu menjadi pelindungmu sampai kapan pun. Seperti Superman. Aku pastikan aku akan selalu mengingatmu, Sherra.
Sementara itu, Farren sempat melihat adegan perpisahan yang menyedihkan. Diliriknya kaca spion. Farren menyeringai sinis menyaksikan drama perpisahan yang begitu cengeng. Untuk sesaat dia tercengang menyaksikan gadis itu menangis ketika melepas kepergian Ben. Tatapan matanya nampak kosong dan sepi. Entah mengapa Farren seolah ikut merasakan emosi gadis itu yang terpancar dari kedua matanya. Farren pun sempat tersentak ketika melihat gadis itu terjatuh ketika mengejar mobil mereka yang melaju semakin cepat. Sempat dia saksikan pula gadis itu berusaha bangkit namun tak mampu. Ia terjatuh lagi.
Farren menyeringai sinis. Dasar gadis bodoh!