Rapat besar perusahaan Santosa Group Cooperation sedang digelar untuk menentukan kandidat terbaik dari dua calon pewaris, antara Farren dan Ben. Keduanya telah mempresentasikan program-program untuk perusahaan, dan perlu diakui keduanya unggul dalam bidang masing-masing. Ben yang mengandalkan statistik dan manajemen, sedangkan Farren akan mendongkrak bidang pemasaran. Keduanya mempunyai potensi yang sama. Namun, yang nantinya terpilih hanya satu orang.
Dari orang kepercayaan Farren, dia mendapat informasi bahwa Ben sudah mengatur siasat. Salah satunya adalah pernikahan politik dengan Tania yang keluarganya punya pengaruh besar dalam investasi saham di Santosa Coorperation Group. Jika pernikahan antara Ben dan Tania terjadi, maka sudah dipastikan keluarga Tania yang mempunyai pengaruh besar itu akan memilih Ben. Farren telah kalah telak bahkan sebelum perang dimulai.
Farren tak mau tinggal diam. Siang itu juga ketika jam istirahat, Farren mengajak Ben bicara di atap gedung. Tempat yang menurutnya leluasa, bahkan jika memang harus, mereka tak hanya perang mulut tapi juga adu tinju.
Farren sudah menunggu Ben. Kini keduanya berdiri di atap gedung. Hanya ada mereka berdua.
“Kalau mau bicara, cepat saja! Aku ada janji makan siang dengan Tania!” Ben bersuara.
Farren mencoba bersikap tenang meski ingin sekali rasanya menonjok wajah Ben. “Kamu sudah mengatur strategimu? Supaya posisimu aman? Dengan menikahi Tania?”
“Mengapa? Kamu tidak punya strategi? Kamu takut dan sudah mengaku kalah bahkan sebelum kompetisi kita dimulai?” balas Ben tak kalah tenang dengan suara halus namun menyindir. Ditantangnya mata Farren yang mulai terancam. “Bahkan matamu mengatakan takut dan kamu marah! Mundur saja jika kamu tak mau harga dirimu terluka!” ancamnya halus.
Kata-kata itu sukses menyulut amarah Farren, dengan sigap dicengkeramnya kerah baju Ben. “Takut katamu?” meski tak mau mengakui, tapi sebenarnya Farren sudah mengaku kalah. Harus sekeras apa lagi dia berusaha? Harus bagaimana lagi dia akan mendapat pengakuan? Selama Ben masih menjadi bayang-bayangnya, papa akan lebih mendukung Ben. Sejak awal bahkan sebelum Farren berusaha, dia memang sudah kalah. Itulah yang membuatnya tak mampu menahan amarah. Mengapa Ben harus muncul dalam kehidupannya dan merebut apa yang seharusnya dia dapatkan! Ben sudah seharusnya dijatuhkan!
“Kamu lupa di mana tempatmu sebenarnya, anak pengemis? Perlukah aku menggagalkan pernikahan kalian? Aku ahli dalam merayu wanita, jika aku mau bahkan aku bisa membuat Tania jatuh cinta kepadaku? Ini bukan hanya ancaman!” tantang Farren.
Ben dengan sigap melepaskan cengkraman tangan Farren. Seringai sinisnya mengembang. “Jangan menyentuh apa yang sudah seharusnya menjadi milikku, atau aku akan merebut hal yang benar-benar kamu inginkan!”
Farren malah tertawa meremehkan. “Kamu tahu apa hal yang aku inginkan? Aku hanya menginginkan kematianmu!”
“Aku lebih mengenalmu daripada yang kamu kira. Aku mengawasimu karena kamu adalah satu-satunya batu terjal yang menghalangi mimpiku!”