Sherra memutuskan untuk tidak segera kembali ke kantor dulu karena dia ingin merancang panduan wawancara untuk Ben dengan suasana baru. Dia pun memilih untuk santai di kafe tak jauh dari kompleks perkantoran Santosa Coorperation Group. Kafe itu cukup cozy dengan desain vintage. Sherra memilih tempat duduk seperti bar yang langsung menghadap jendela luar di mana Sherra juga bisa mengamati orang-orang yang sedang lalu lalang. Dia memesan segelas cappuccino hangat sambil mencoret-coret daftar pertanyaan di buku catatan kecilnya. Ketenangannya tiba-tiba terusik oleh seseorang yang tiba-tiba saja duduk di sampingnya. Kemunculan seseorang yang selalu tak terduga, mengejutkan, dan membuat Sherra selalu merasa terancam. Farren.
“Boleh gabung?” tanya Farren yang hanya sekadar basa-basi. Meski Sherra menolak, lelaki itu pun nantinya akan mengabaikannya dan ia tetap duduk di samping Sherra tanpa mendengar persetujuan Sherra lebih dulu.
Farren mengangkat tangan untuk memanggil waitress. “Saya pesan Americano.”
Sherra mengabaikan Farren dengan berpura-pura sibuk mencoret-coret sesuatu di buku note-nya.
“Kamu bahkan mengabaikanku!” seru Farren mencari perhatian. “Aku tak menyangka kamu mau berlari sejauh ini. Jika tujuanmu memasuki Santosa Coorperation Group adalah Ben, hentikan! Kamu akan terluka nanti!” ia tetap bicara meski Sherra mengabaikannya tapi telinga wanita itu tidak tuli. Tak lama kemudian, Americano yang Farren pesan datang. “Terima kasih!” ucap Farren.
“Bisakah kamu tidak ikut campur urusan orang lain?” balas Sherra tanpa menoleh ke arah Farren.
Farren meneguk minuman kopinya sambil menatap ke luar jendela. “Mimpi, kekuasaan, dan keinginan bisa mengubah seseorang. Ben yang kamu kenal dulu mungkin bukan Ben yang sekarang…” ujarnya santai.
Sherra nampaknya mulai tertarik dengan kata-kata Farren. Ia pun menoleh. “Kamu berkata seolah mengenal Ben padahal kalian tidak pernah tinggal satu rumah, bahkan kalian adalah rival!”
Farren balas menoleh dan menatap wajah Sherra, kemudian dia tertegun. Wanita yang mencoba tegar ketika tahu Ben ternyata melupakannya, berjuang melawan patah hati seorang diri, namun nyatanya Ben hanya pura-pura lupa demi impian yang lebih besar. Wanita malang, yang bahkan mengejar lelakinya sejauh ini, tapi lelaki yang dikejarnya punya ambisi lain…
Sherra salah tingkah sendiri ditatap Farren dengan pandangan yang tak biasa. “Mengapa menatapku seperti itu?”
Farren segera mengalihkan tatapannya. “Aku bisa meloloskanmu jika kamu mau. Akan aku buktikan Ben itu seperti apa. Sampai kamu membuka matamu!”
Tawaran yang menggiurkan, namun Sherra tetap punya harga diri. “Jika kamu lakukan itu, aku akan menolak bergabung dengan perusahaan!”
Farren malah tersenyum licik. “Kamu sudah melangkah sejauh ini, kamu yakin sanggup menerima kegagalan? Aku hanya membantumu untuk punya peluang dekat dengan Ben dan buka matamu! Tenang saja, aku membantumu tidak gratis. Akan kamu bayar, nanti!” ia melihat jam tangannya dan sudah habis waktu untuk istirahat. “Bayar kopiku, lain kali aku akan mentraktirmu!” pamitnya, lalu bergegas akan pergi.