Farren mengantar Sherra pulang ke sebuah rumah indekos sederhana di pinggiran kota. Bangunannya sangat tua dengan cat yang sudah mengelupas di mana-mana. Sudah dipastikan bahwa harga sewa kamar indekos itu sangat murah.
Ketika memasuki kamar Sherra, Farren tak kalah terkejutnya karena heran masih ada manusia yang betah tinggal di sebuah rumah kos yang berukuran tak lebih dari 3x3 meter dengan udara pengap, tanpa pencahayaan yang bagus.
“Kamu betah tinggal di tempat seperti ini?” tanya Farren keheranan.
Sherra malas mendebat. “Kenapa kamu mengikutiku?” tanyanya datar.
“Karena aku mengkhawatirkanmu yang seperti mayat hidup! Setidaknya makanlah! Isi perutmu!” Farren mengomel. Hal yang tak pernah dilakukannya.
Sherra tertawa sinis. Bahkan kini dirinya telah mati rasa. Apakah dengan makan akan menyembuhkan perihnya hati? Apakah dengan makan akan membuatnya bisa lebih kuat? Nyatanya, tidak! Kini yang Sherra inginkan mengakhiri penderitaannya dengan bertemu Tuhan. Terlalu cepatkah untuk berputus asa? Karena sungguh Sherra sangat tersiksa.
“Pergilah!” usir Sherra lemah kemudian ia segera berbaring di ranjang dan menangis lagi tanpa suara.
“Jika sudah lebih baik, jangan lupa makan!” perintah Farren. Sebelum meninggalkan kamar itu, dia meletakkan satu kantong plastik berisi roti dengan kualitas terbaik dan sebotol susu. Dia memilih membiarkan Sherra sementara menyendiri.
Sisa malam itu, aliran mata Sherra terus membanjir dan tak menunjukkan tanda akan mengering dengan segera.
Farren berniat akan pulang ke apartemennya, namun dia tak tega meninggalkan Sherra sendirian dalam keadaan kacau. Maka, ia memutuskan menunggu di dalam mobil yang terparkir di halaman depan rumah indekos Sherra. Ia ingin memastikan bahwa Sherra aman dan baik-baik saja.
Melihat keadaan Sherra yang terluka seperti ini, Farren merasa menjadi lelaki yang tidak berguna. Entah mengapa perih begitu berdenyut ketika Farren menyadari kenyataan bahwa meski bertahun-tahun telah berlalu, hati Sherra masih untuk Ben. Dipejamkannya mata. Lalu, apa yang harus aku lakukan untuk sekadar meringankan lukamu, Sherra….
***
Keesokan paginya, Farren kembali mengecek keadaan Sherra. Hal pertama yang dilakukannya adalah memeriksa kantong plastik yang ditinggalkannya dan isinya masih utuh. Roti dan susu tidak disentuh sama sekali. Sementara, Sherra masih meringkuk di tempat tidurnya meski hari sudah beranjak siang.
“Kamu tidak bekerja?” tanya Farren hati-hati ketika memastikan Sherra sudah bangun.
Sherra hanya menggeleng lemah. Jangankan bekerja, dia tidak punya kekuatan untuk bangun dari ranjangnya. Entah perasaan macam apa yang kini sedang dirasakannya. Sedemikian hebatnya kah rasanya patah hati? Membiarkan tubuh begitu lemah. Tak ingin melakukan aktivitas apa pun selain hanya berbaring di ranjang sepanjang hari.
Farren mulai khawatir. “Mau sesuatu yang hangat?” ia menawari karena dilihatnya keadaan Sherra mulai mengkhawatirkan.