Farren cemas karena Sherra tak ada di kamarnya. Dia belum sehat benar dan juga belum diijinkan pulang. Dicarinya Sherra di setiap sudut rumah sakit, namun tak ia temukan. Dihubunginya pula Sherra berkali-kali namun tak ada jawaban. Tak luput pula dia mendatangi rumah indekos Sherra dan hasilnya nihil. Maka, ia memutuskan untuk menunggu Sherra di depan indekos. Hingga larut malam pun, Sherra belum nampak batang hidungnya. Berkali-kali Farren keluar masuk mobil dengan harap-harap cemas. Meneliti setiap orang yang lewat berlalu-lalang, barangkali ada Sherra salah satunya.
Setelah Sherra puas menangis dan merasa keadaannya membaik setelah memborong es krim, Sherra memutuskan pulang. Diperiksanya ponsel yang dari tadi dia matikan karena tak mau diganggu. Kali ini dia mendapat teror dari Farren. Entah sudah ada puluhan missed call dan whatsapp bertubi menanyakan posisinya.
Setibanya di depan area indekos, Sherra terkejut karena mendapat pelukan tiba-tiba dari seseorang. Tubuh Sherra membeku, pelukan hangat yang sebetulnya Sherra butuhkan saat ini. Sherra tergugu.
“Ke mana saja? Aku mengkhawatirkanmu!” sebuah suara hangat berujar. Sherra tahu pemilik suara itu adalah Farren.
Tak ada jawaban selain suara tangis yang tiba-tiba tumpah.
Farren melepas pelukannya sesaat dan mengamati Sherra dalam keadaan kacau dan matanya sembab.
“Menangislah, bicaralah setelah tenang!” Farren kembali mengeratkan pelukannya sambil menepuk pelan punggung Sherra, menenangkan wanita itu.
Sherra pun tak kuasa menahan diri. Dibenamkannya wajahnya pada dada Farren. Tempat yang menurutnya ternyaman saat ini. Menangis di sana, bahkan isaknya lama-lama menjadi tangis tersedu.
Farren mendekap dengan sabar, menunggu hingga tangis Sherra mereda.
Menit-menit pun berlalu. Setelah Sherra tenang, ia mulai menciptakan jarak. “Apakah tawaranmu masih berlaku? Kamu masih ingin menjadikanku wanitamu?”
Farren melepaskan pelukannya, lalu ganti menatap Sherra dengan saksama. “Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba?”
“Tapi dengan syarat, jangan suruh aku mencintaimu. Jangan suruh aku hanya akan memandangmu. Jangan tanya aku menyimpan nama siapa di dalam hatiku. Jangan pernah bertanya siapa yang kucintai. Jangan pedulikan hatiku untuk siapa jika kamu mau aku menjadi wanitamu, bagaimana?” Sherra menantang mata Farren.
Apa rencanamu kali ini? Apa yang ada di pikiranmu saat ini, Sherra? Aku sungguh tak mampu menebak. batin Farren bertanya-tanya. Namun, melihat keadaan Sherra yang lemah, Farren tak tega untuk mendebat.
“Aku juga punya syarat. Aku membenci segala bentuk pengkhianatan, dan selama kamu menjadi wanitaku, jangan harap kamu bisa datang ke arah Ben! Maka, aku akan menerima semua syaratmu, hmmm?”
Sherra kini meragu. Sanggupkah ia? Bagaimana jika di tengah jalan, ternyata terbuka jalan untuk bersama Ben?