Farren terkejut karena pagi-pagi sekali mama Farren sudah duduk di kursinya. Dihampirinya mamanya dengan wajah penuh keterpanaan. Mama yang setahu Farren tak pernah ada di rumah dan hanya melalang buana untuk menghabiskan uang dan berbelanja barang mahal dengan geng sosialitanya, lalu kini tiba-tiba ada di kantornya.
“Mama, kapan datang?” tanya Farren basa-basi supaya terlihat sopan.
Mama Farren yang berusia kepala lima, namun nampak seperti berusia awal empat puluhan karena perawatan yang totalitas, juga fashion yang dikenakannya mengikuti perkembangan zaman. Sebutan yang pas untuk menggambarkan penampilan mama Farren adalah ibu-ibu sosialita hits.
“Mama sudah mendengar kabar pertunangan Ben dengan Tania,” Mama Farren tertawa sinis. “Kamu sudah kalah siasat! Kamu yakin menyerahkan gelar pewaris perusahaan kepada anak pelacur si Ben itu? Lalu, sekarang kamu masih mau bermain-main dengan wanita? Di mana otakmu Farren?”
Farren memutar kedua bola matanya. Mengomel lagi. “Mama mengawasiku?” protesnya.
Mama menyerahkan map yang berisi daftar nama wanita - wanita konglomerat papan atas yang siap dinikahi putranya. “Jika Ben bisa menggunakan cara menikahi Tania, kenapa kamu tidak bisa melakukan hal licik seperti yang dilakukan Ben. Kamu tinggal pilih, maka mama akan mengatur perjodohan untukmu!”
“Ma…! Biarkan Farren menang dengan cara Farren, bukan dengan cara mama!” bantah Farren lelah setiap kali berurusan dengan mamanya yang arogan dan perintahnya tak terbantah.
“Lalu kamu punya strategi? Lihat! betapa melejitnya sekarang karir Ben dan kamu masih dalam zona nyaman posisimu. Sampai mana progresmu, hah? Atau kamu tetap tidak diperhitungkan di depan papamu?”
Farren terdiam dan mengatupkan rahang.
“Benar kan? kamu tak hanya kalah satu langkah melainkan ribuan langkah! Biar mama yang bicara sama papa kamu!” ujar mama Farren dengan nada angkuh, lalu keluar ruangan untuk menemui suaminya.
***