Setelah acara makan selesai, kini giliran Sherra menghadap Pak Santosa karena beliau ingin berbicara empat mata dengannya. Dia duduk di sofa yang ada di dalam ruang kerja Pak Santosa. Desain ruangan itu tampak megah. Pada dinding ruangan dikelilingi oleh rak-rak buku besar yang menyimpan berbagai macam koleksi buku. Sherra memainkan jemari-jemari tangannya karena gugup tak beralasan. Dia tak bisa membaca ekspresi Pak Santosa di meja makan tadi. Entah beliau menerima kehadirannya atau tidak.
Angan Sherra pun melayang pada adegan drama yang sering dia tonton di televisi. Akankah ia diberi sejumlah uang sebagai kompensasi untuk meninggalkan Farren? Atau dia akan diwawancarai apa motifnya mendekati Farren? Karena hartakah? Mungkin bisa saja Pak Santosa mengulik segala informasi tentang dirinya dan latar belakangnya hingga berani-beraninya dia mendekati putranya, lalu menyuruh Sherra untuk berkaca dan sadar diri.
Namun, adegan yang terjadi selanjutnya adalah hal yang tak terduga. Pak Santosa malah menyuruh asisten rumah tangga untuk membuatkan minuman teh hangat sebagai teman berbincang. Kini, Sherra dan Pak Santosa duduk berhadapan. Sikap Pak Santosa pun ramah sekali, berbeda dengan ekspresi yang tergambar ketika di ruang makan tadi yang cenderung dingin dan tak berekspresi.
“Sudah lama mengenal Farren?” tanya Pak Santosa sebagai kalimat pembuka.
“Kami sebenarnya sudah mengenal sejak kecil. Kami sempat bertemu ketika remaja, tapi kami dekat hanya baru-baru ini,” jawab Sherra hati-hati.
Pak Santosa mengambil jeda lalu meneguk minuman teh hangat yang terhidang. “Silakan sambil minum!”
Sherra mengangguk tipis.
“Farren sudah menceritakan sedikit tentangmu bahwa hari ini dia akan memperkenalkan seseorang. Dia memintaku untuk tidak memandang dari mana latar belakangmu. Ini untuk kali pertama dia membawa seseorang ke rumah untuk diperkenalkan kepada keluarganya. Bahkan, dia merencanakan pernikahan. Hal yang begitu tiba-tiba. Farren yang kutahu tidak pernah meminta sesuatu dengan begitu gigih. Tapi hari itu, aku melihat mata putraku begitu menginginkan sesuatu dan tulus meminta kepadaku untuk merestui jalan pilihannya dalam memilih pasangan…,” cerita Santosa.
Seketika mampu membuat dada Sherra berdesir. Mengundang tetes air mata penuh keharuan. Tiba-tiba tak terbendung. Kian lama kian menderas.
Santosa tertawa kecil. “Farren bagiku seperti anak kecil yang masih perlu dibimbing. Tapi hari itu, aku melihat mata Farren begitu jujur bahwa kini dia sudah saatnya menentukan jalan hidupnya, dan aku lega jika akhirnya dia menemukanmu. Farren sungguh tulus dan aku yakin kamu pun tulus.”
Kata-kata Pak Santosa kembali menyentuh hingga Sherra tak sanggup membendung air matanya. Kini alirannya seperti banjir yang sulit dihalau, hingga terdengar suara Sherra sesenggukan. Betapa dia merasa benar-benar menjadi wanita sangat jahat. “Saya...masih banyak kekurangan…dan butuh banyak belajar...” ujarnya dengan nada bergetar dan terbata.