Sekeluarnya Sherra dari ruangan Pak Santosa, tanpa sengaja dia berpapasan dengan Ben. Meski sempat terkejut, namun Ben sebisa mungkin menyembunyikan ekspresinya. Untuk sesaat hening menghadirkan jeda hingga akhirnya Ben berinisiatif untuk menyapa.
“Sudah mau pulang?” tanya Ben santai dan ramah.
Sherra mengembangkan senyum tipis dan mengangguk. “Sepertinya kita sudah bertemu sebelumnya. Kalau Anda masih ingat, saya pernah mewawancarai Anda untuk media WOMENDREAM…” ujarnya mencari topik seadanya.
Ben memasang ekspresi seolah berpikir keras untuk mengingat-ingat. “Oh...aku tidak ingat karena kamu tahu kan aku sering diwawancarai oleh banyak media, jadi… maaf jika aku tidak mengenalimu sebelumnya,” dengan susah payah Ben lagi-lagi berlagak seolah tak mengenali Sherra. Semoga kali ini aktingnya masih meyakinkan.
Sherra hanya melempar senyum maklum. “Ya, memang tidak perlu diingat karena memang saya bukan siapa-siapa….”
Ben menelan ludah. Kamu salah Sherra, kamu tetap seseorang yang pernah berbagi kenangan bersamaku. Seseorang yang ingin selalu kupeluk dan kulindungi. Seseorang yang selalu ingin kuhapus air matanya dan ingin kuberi hari-hari penuh tawa. Karena kita berdua pernah berbagi air mata bersama….
“Sayang, sudah malam. Ayo pulang!” Tania tiba-tiba datang membangunkan lamunan Ben sambil bergelayut manja di lengannya.
“Kami permisi dulu!” pamit Ben yang kemudian berlalu begitu saja melewati Sherra. Jika lebih lama bercakap dengan Sherra seperti ini, ia ragu apakah dia akan bisa mempertahankan aktingnya yang berpura-pura tak mengenali Sherra.
Kedua mata Sherra mengikuti arah langkah mereka dan menelan kepahitan lagi. Adakah cara untuk mengembalikan ingatan Ben akan kenangan tentang kita di masa lalu?
Dari kejauhan, Farren sempat menyaksikan adegan Ben dan Sherra yang berpapasan tanpa sengaja. Setiap kali melihat keduanya berpapasan dan saling berpura-pura tak mengenali satu sama lain membuat Farren muak. Terutama menatap ekspresi Sherra yang selalu terluka setiap kali melihat kemesraan Ben dan Tania. Baiklah, kita lihat siapa yang akan berhasil menipu diri sendiri? Perlahan didekatinya Sherra.
“Ekspresimu begitu kentara kalau kamu menginginkan Ben!” Farren berujar datar.
Sherra tersentak dan segera menguasai dirinya. “Haruskah kamu tempuh jalan itu? Kenapa kamu langsung membahas pernikahan di depan orang tuamu tanpa membahasnya denganku lebih dulu? Kamu bilang ini hanya perkenalan resmi. Tapi mengapa kamu justru mendesak pernikahan?” dia melancarkan protes yang dari tadi dipendamnya.
“Karena, seperti kataku. Aku tak mau kehilanganmu ketika kamu sudah memilih untuk menjadi wanitaku! Aku membenci pengkhianatan! Kamu pikir aku tak bisa membaca tatapanmu yang masih begitu mengharapkan Ben? Jika satu-satunya cara mengikatmu supaya tidak pergi adalah dengan pernikahan, akan aku lakukan!” nada suara Farren mengeras karena sudah cukup dari tadi dia menahan kesabaran melihat tingkah keduanya.
“Tapi kenapa harus pernikahan dan kamu ingin secepatnya menikah? Di saat Ben juga merencanakan pernikahan?” Sherra bersikeukeuh menyatakan ketidaksetujuannya dengan ide Farren.
Farren mendekatkan tubuhnya tepat di hadapan Sherra, membuat Sherra secara refleks mundur beberapa langkah. Hal itu seketika membuat Farren tergelak sinis sekaligus miris. “Kamu lihat? Bahkan reaksi spontanmu akan selalu memilih untuk berlari dariku!”
Sherra kehabisan kata-kata dan nampak kebingungan karena dia tak menyangka Farren bisa menjadi sosok yang menakutkan seperti caranya menatap dirinya sekarang.