Setelah puas menikmati makan malam pinggir jalan, Farren memutuskan untuk segera pulang. Namun sebenarnya, Farren tak mau hari ini cepat berakhir karena mereka sangat jarang menikmati momen berdua seperti ini. Tanpa pertengkaran dan tanpa debat mulut. Maka, Farren ingin memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya.
“Mau jalan-jalan dulu?” ajak Sherra tiba-tiba seolah bisa membaca isi pikiran Farren. “Menurunkan isi perut yang kekenyangan.”
“Ok, lagian juga masih jam sepuluh…”
Kini, keduanya berjalan beriringan menyusuri taman tengah kota. Suasana malam masih ramai orang-orang berlalu lalang dan beberapa pedagang kaki lima berjejer menawarkan beragam kuliner jalanan seperti cilok, sempol, tahu bakar, sosis bakar, tahu petis, dan lain sebagainya. Lalu, mata Sherra menangkap gerobak Es Krim. Tanpa berpikir panjang, langsung didatanginya gerobak Es Krim dan membelinya.
“Mau?” Sherra menawari Farren ceria.
Farren justru terpana akan keramahan Sherra yang tiba-tiba. Juga, senyumnya yang terlihat natural. Bahkan Farren sudah lupa kapan menyaksikan Sherra tersenyum sejak insiden dia patah hati ketika mendengar Ben akan bertunangan. Melihat senyum itu, rasanya mendamaikan.
“Kalau takut sakit perut, nggak mau juga nggak apa-apa. Tapi, yakin nggak nyesel?” rayu Sherra membangunkan lamunan Farren yang sempat terpesona dengan sebentuk senyuman Sherra.
“Satu cone saja....,” Farren tak kuasa menolak tawaran Sherra meskipun jajanan di pinggir jalan ini bukan kelas Farren. “Aku bisa membelikanmu Es Krim ala restoran berbintang, lain kali.”
“Terkadang, kebahagiaan itu bisa kita temukan dari hal-hal sederhana, seperti Es Krim di pinggir jalan ini misalnya,” celoteh Sherra sembari berjalan di sisi Farren, menelusuri jalan setapak taman kota.
“Tapi bagiku kebahagiaan tak pernah sederhana…,” Farren menyahut sambil menatap nanar ke depan. Sesekali memakan es krimnya.
Sherra menangkap ada nada kesedihan dari suara Farren, ia pun menoleh. Menatapnya lama. Farren, seperti kata Pak Santosa bahwa dia tak pernah merasa dicintai. Lelaki yang suka bersikap semena-mena, namun sebenarnya dia kesepian. Batinnya bergumam.
“Lalu, apa kamu pernah merasa benar-benar bahagia?” tanya Sherra benar-benar penasaran.
Farren menoleh, menatap Sherra begitu dalam dan hangat. “Ya, hari ini aku merasa bahagia, sesederhana makan Lontong Kikil di pinggir jalan dan makan Es Krim, asalkan bersamamu. Kita tidak perlu bertengkar atau adu mulut membahas masa lalu. Hanya ada kita, saat ini, di momen ini…”
Kata-kata manis itu kontan membuat Sherra salah tingkah. Farren mungkin memang playboy ulung yang mulutnya licin dalam hal merayu wanita. Seharusnya Sherra sadar akan hal itu. Farren sudah biasa bermain kata-kata manis untuk bisa menjerat wanita ke dalam pelukannya. Jam terbangnya sudah tinggi. Tapi ketika lelaki itu mengucapkan kata-kata itu dengan tatapan hangat, teduh, dan dalam, mampu membuat Sherra tak bisa berkutik untuk sepersekian detik. Terpana sekaligus terheran-heran. Mengalirkan getar halus menggelitik ke sekujur tubuh. Karena sekali dalam seumur hidup Sherra, ia merasa kehadirannya berarti untuk seseorang. Dan orang itu adalah Farren.