Farren mengerjapkan kedua mata ketika merasakan silaunya matahari yang menembus jendela besar ruang utama menyinari wajahnya. Perlahan dia membuka mata dan mengumpulkan nyawanya. Sepertinya dia bangun kesiangan dan untungnya ini hari Sabtu yang artinya hari libur. Samar-samar Farren mendengar suara seperti orang memasak dari arah dapur. Farren segera bangkit dan berjalan ke arah dapur yang hanya berbatas sekat kaca. Dilihatnya Sherra nampak sibuk menyiapkan sarapan. Kemudian Farren pun langsung duduk di salah satu kursi yang langsung terhubung dengan meja pantry. Diam-diam diamatinya Sherra yang sibuk memasak dengan posisi membelakanginya sehingga wanita itu tak menyadari kehadiran Farren.
Begitu Sherra menoleh, tampak di hadapannya Farren muka bantal dengan rambut masih acak-acakan dan kemeja kusut itu menatapnya kosong. Dia sempat terperanjat. “Kamu membuatku kaget!” gerutunya. Meski tampak acak-acakan Farren masih saja terlihat ganteng.
Farren malah melipat tangannya di atas meja, lalu meletakkan dagu di atasnya. Tatapan matanya polos seperti anak kecil. “Aku lapar!”
“Tunggu, sebentar lagi matang,” ujar Sherra yang kemudian menyodorkan segelas air putih hangat di hadapan Farren.
Farren menegakkan badannya dan meneguk air putih itu dengan segera.
Sherra mengamati keadaan Farren dengan saksama. Sejujurnya dia masih penasaran apa yang terjadi dengan lelaki itu sehingga kemarin dia nampak hancur dan sangat bersedih.
Tanpa sengaja, Farren menangkap Sherra kini menatapnya dengan tatapan menyelidik. “Ada yang aneh dengan wajahku?” tanyanya membangunkan lamunan Sherra.
“Kamu sudah membaik?” tanya Sherra hati-hati.
Farren mengangguk seadanya kemudian meneguk air putih lagi, menghabiskannya.
“Kemarin, ada apa? Dan luka di bibirmu kenapa? Berkelahi dengan siapa?” tanya Sherra dengan serentet pertanyaan.
Farren mematung sesaat kemudian menatap Sherra keheranan. Sempat ia ingat meski samar sepertinya dalam keadaan setengah teler, dia menabrak seseorang. Bukannya minta maaf, Farren malah meracau. Hasilnya, dia dihadiahi bogem yang langsung meninggalkan luka di sudut bibirnya.
“Kamu penasaran? Atau memang peduli kepadaku?” Farren malah balik bertanya.
Sherra sedikit tergeragap karena sejujurnya ia mulai mengkhawatirkan Farren. “Oke, lupakan pertanyaanku jika memang kamu tidak ingin bercerita,” ujarnya tergagap. Menutup-nutupi sikapnya yang mulai memedulikan Farren.
“Aku pikir kita tidak cukup dekat untuk berbagi cerita sedih…,” ujar Farren santai menegaskan batas hubungan mereka. “Bukan berarti karena sekarang kamu wanitaku kamu berhak tahu segalanya. Seperti halnya kamu, aku juga akan menciptakan batas. Aku tidak akan bertanya siapa lelaki yang kamu cintai dan apakah Ben masih ada di hatimu atau tidak? Sebagai gantinya, jangan juga campuri ranah privasiku atau bertanya hal-hal yang mencangkup ranah pribadi. Jika hal itu sampai terjadi, kamu menjadi sangat membosankan.”
Sherra benar-benar tak bisa membaca sikap Farren. Kadang dia seperti anak kecil yang memang butuh teman untuk berbagi. Kadang dia juga bersikap angkuh seperti barusan seolah tak membutuhkan siapapun. Semakin hari Farren semakin misterius. Sherra tak mau berdebat lebih panjang, maka ia mengalihkan topik. “Mau kopi? Teh?”