Farren mengamati keadaan mamanya yang kini terbaring lemah di suatu ruangan rumah sakit kelas VVIP yang lebih mirip kamar hotel daripada kamar rumah sakit. Dokter telah menjelaskan keadaan mamanya bahwa akibat stress berat, mamanya itu kolaps. Dokter memprediksi keadaannya akan segera membaik jika mama istirahat cukup dan emosinya cukup terpantau. Jika mama sudah sadar, beliau akan ada sesi dengan psikolog yang sudah menjadi langganan mama untuk meredakan rasa stress.
Ketika melihat keadaan mamanya yang tak berdaya seperti ini sejujurnya Farren merasa iba. Farren tak punya kuasa untuk memisahkan pertengkaran antara mama dan papa tempo hari. Farren sudah sangat terkejut mendengar kenyataan tentang rahasia besar yang telah mereka berdua simpan rapat-rapat. Terjawab sudah rasa yang mengganjal selama ini mengapa Ben lebih mendapat perhatian lebih dari papa dan masa depan Ben begitu berarti bagi papa. Papa selalu ada di belakang Ben untuk mendukung penuh Ben meraih kesuksesan.
Dalam tidurnya, nampak mama mengigau lemah. “Maafkan aku….”
Farren menelan ludah dalam kegetiran. Dan ia pun tak pernah memahami rumitnya hubungan mama dan papa. Bagaimana keduanya terjebak pada pernikahan yang rasanya seperti neraka. Saling melukai satu sama lain. Papa yang tersiksa karena pengkhianatan mama. Mama yang begitu rapi menutupi kesalahan yang selama ini diperbuatnya dan kini menyesalinya. Papa yang bertahun-tahun menggenggam luka dan duri dalam pernikahannya. Hal yang tak pernah Farren pahami, papanya memilih tidak menceraikan mamanya selain memberikan siksaan perlahan-lahan.
Farren tak pernah membayangkan betapa sepinya hari-hari yang mama lewati tanpa perhatian dari papa meskipun berkali-kali mama mencoba memperbaiki pernikahannya. Sementara bagi papanya, menahan mama tetap di sisinya adalah hukuman yang harus diterima karena pengkhianatan yang pernah dilakukan mama. Sedalam itukah rasa papa kepada mama? Lalu, Farren? Apa peran Farren di keluarga ini? Hanya debu yang tak berarti? Atau dirinya dianggap noda yang mencederai pernikahan mereka? Kehadirannya telah melukai banyak pihak. Dirinya mungkin adalah anak yang tidak diinginkan dan diharapkan. Bagi mamanya, Farren adalah kesalahan. Bagi papanya, Farren adalah penyebab luka.
Tanpa disadarinya, mata Farren mengabur. Dia segera menengadah untuk menahan air mata yang mulai ingin menetes. Perih kembali berdenyut menyesakkan dada. Farren tak ingin terlarut pada pikirannya terlalu lama, atau ia akan semakin merasa sedih. Setelah meninggikan selimut mama, Farren bergegas keluar kamar. Matanya sudah mulai berat dan mengantuk. Dia ingin mencari kopi hangat di kafe terdekat.
Ketika langkah kaki Farren menelusuri koridor rumah sakit, mendadak langkah kakinya terhenti karena mendapati sosok Sherra yang tampak menunggu di sudut lorong. Dahi Farren otomatis membentuk kerutan. “Sherra?” dalam sekejap ada kesejukan yang merambati dadanya.
***
Sherra tadinya menunggu Farren menghubunginya, tapi ternyata Farren tak kunjung mengiriminya pesan. Kemudian Sherra memberanikan diri untuk menelepon rumah Farren dan salah satu asisten rumah tangga mengatakan bahwa mama Farren sedang dirawat di rumah sakit dengan menyebutkan secara lengkap di rumah sakit mana dan di kamar berapa beliau dirawat.
Sherra mengerti bahwa sebenarnya mama Farren tidak menyetujui hubungannya dengan Farren. Hal itu jelas terlihat ketika Farren memperkenalkan Sherra, beliau tampak kurang bersahabat dan sama sekali tak ingin tahu tentang Sherra. Namun, kunjungannya ke rumah sakit bukan karena mama Farren. Sherra lebih mengkhawatirkan keadaan Farren. Entahlah, Sherra sendiri juga heran dengan dirinya. Seharusnya dia bersikap seperti biasanya yang tak peduli entah Farren mau melakukan apa. Kalau bisa Farren berada jauh-jauh darinya itu akan lebih baik.
Akan tetapi, keadaan Farren yang hancur semalam masih menyisakan tanda tanya di benak Sherra. Apakah Farren habis bertengkar dengan papanya? atau mamanya? Sialnya, Sherra tidak bisa mengorek lebih dalam masalah apa yang menimpa Farren. Terlebih lagi ketika menyadari bahwa sejak semalam Farren belum berganti pakaian. Sehabis sarapan dia langsung menuju rumah sakit. Dengan segala kerumitan yang terjadi dalam waktu sekejap, mana mungkin Farren sempat berpikir untuk ganti baju.
Benar saja, begitu Sherra mendatangi rumah sakit dan bertemu Farren, keadaan lelaki itu seperti yang diduganya. Lusuh, kucel, dan belum berganti pakaian sejak kemarin.
“Wah….siapa yang datang ini?” tanya Farren dengan nada sindiran.