31
JALAN YANG DIPILIH
Sherra berjalan tak tentu arah setelah insiden makan siang dan pertemuannya yang tak terduga dengan Ben. Meski kini Sherra sudah mulai membuka hatinya untuk Farren pelan-pelan, namun dia tak dapat memungkiri kalau sebenarnya bayangan serta kenangan akan Ben tidak mudah terhapuskan begitu saja. Selalu ada ruang kenangan yang siap tersulut. Terlebih jika pertemuannya dengan Ben tak terduga seperti tadi. Di waktu yang bersamaan Sherra harus berpura-pura tak mengenali Ben, namun jauh di sudut hatinya ingin sekali rasanya berteriak.
Aku Sherra, gadis yang kamu janjikan ingin kamu lindungi. Ya, aku Sherra. Dan aku masih menyimpan kenangan akan kita. Ketika kamu menghapus air mataku ketika aku ketakutan. Kamu berjanji akan melindungiku dari kejahatan ayahku. Aku Shera yang itu, yang sempat berbagi tawa bersamamu, Ben. Aku Sherra yang itu, yang hanya punya satu teman bermain, yaitu kamu Ben. Aku Sherra yang itu, yang menangisi kepergianmu bahkan mengejarmu. Ya, aku Sherra yang selalu menulis surat kepadamu setelah kepergianmu, meski surat-suratku tak pernah sampai. Ya, aku Sherra yang selalu mencari keberadaanmu berharap bahwa suatu ketika takdir mempertemukan kita kembali, kamu akan mengenaliku seketika.
Tanpa disadari Sherra, butiran air mata menetes berdesakan tanpa meminta izin. Sherra menengadah untuk menahan air matanya, tapi tak mempan. Ia memaksa untuk terus mengalir diiringi rasa sesak di dada.
Ajariku cara untuk melupakanmu Ben, seperti halnya kamu yang tak mengenaliku sedikit pun. Agar setidaknya aku bisa melanjutkan hidupku.
Lalu, bayangan Tania hadir ketika mencoba mengenakan gaun tunangan penuh gemerlap tadi. Senyum bahagia Tania yang sebentar lagi menyambut hari bahagia bersama Ben terpancar cerah. Dalam sekejap rasa sesak kian mendesak seolah membuatnya sulit bernapas.
Bagaimana mungkin aku merusak kebahagiaan yang jelas tergambar dari senyum Tania… Benarkah sudah tak ada kesempatan untukku?
Sherra terus melangkah tanpa arah. Sesekali menyeka air matanya yang tak mau berkompromi dan kian menderas.
Di sudut yang lain tak jauh dari sana, Ben mengemudikan mobilnya pelan sekali sambil menyalakan lampu tanda darurat. Ekor matanya mengamati Sherra yang sedang berjalan sendirian menelusuri trotoar jalanan. Sesekali, disaksikannya Sherra menyeka air matanya. Ia amati pula terkadang Sherra berhenti sejenak untuk mengambil jeda, kemudian melanjutkan langkahnya dengan tertatih.
Ben menghela napas panjang sambil menggigiti ibu jarinya. Ada rasa ngilu menyerang jantungnya tiba-tiba. Farren mungkin benar. Ini adalah hukuman untuk dirinya. Karena sebesar apapun keinginan Ben untuk berlari ke arah Sherra, ia tak mampu melakukannya. Hanya mampu mengamati Sherra dari kejauhan seperti ini. Terlebih lagi, kata-kata Tania selalu terus terngiang.
Kalau hatimu sempat meragu, ingat ini Ben! Kamu dan aku sudah berlari hingga sejauh ini. Akhirnya kita sampai pada tahap ini. Akankah kamu mengorbankan segalanya hanya demi emosimu sesaat? Pikirkan itu jika hatimu mulai goyah! Hmmmm. Karena sekali kamu memilih jalan yang salah, tak akan sepadan dengan apa yang akan hilang darimu, pikirkan itu!
Ben meremas setir kuat-kuat. Sedikit kesal karena ketidakberdayaannya. Andai aku ingin menyelesaikan masa lalu kita, Sherra, dari mana aku harus memulai? Sanggupkah dirinya mengorbankan segalanya yang telah dibangunnya selama ini?