Sesampainya di dalam gedung hall, kedua mata Sherra menyapu seisi ruangan. Dekorasi yang megah, segalanya penuh dengan gemerlap. Terlebih lagi ketika manyaksikan Tania bak putri cantik dengan gaun tunangannya penuh dengan aksen berkilau. Kemudian, Sherra mengamati Ben yang nampak memancarkan senyum bahagianya. Dari caranya menatap Tania, seolah wanita itu adalah satu-satuya di hati Ben. Masa depan Ben. Mana mungkin Ben akan mengulik masa lalu pahit hanya untuk mengingat kembali cinta pertamanya yang usang. Sementara di hadapannya kini, Ben telah memiliki masa depan bersama Tania.
Suara MC yang menggelegar, untuk sejenak membuat tamu undangan seketika terdiam, lalu mengalihkan perhatian mereka kepada Ben dan Tania. Lampu panggung menyoroti mereka berdua yang kini menjadi pusat perhatian. Sherra pun tak terkecuali. Mau tak mau ia harus menjadi penonton peristiwa yang meluluhlantakkan hati dan pikirannya. Namun, dalam waktu yang bersamaan pula, ia dipaksa tegar. Dalam keriuhan perang batin, Sherra memilih untuk menyendiri dan menuju ke arah sudut ruangan. Dia meneguk beberapa gelas wine. Barangkali wine akan membuat suasana hatinya sedikit membaik.
Tepuk sorak riuh menggema, menarik perhatian Sherra untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Di sana, di tengah panggung yang disoroti oleh lampu serba terang, Sherra menyaksikan aksi romantis Ben yang mengutarakan kata-kata lamaran.
“Sejak aku bertemu denganmu, Tania. Aku sudah tahu bahwa kamu adalah tempat pemberhentianku. Aku tak lagi ingin mencari yang lain, dan menjadikanmu satu-satunya wanita spesial dalam hidupku. Jadilah istriku, Tania….dan aku akan mencintaimu hingga kita sama-sama menua. Apa kamu bersedia menua bersamaku?” ujar Ben lembut dan tegas, dengan tatapan mata yang tak lepas menatap kedua mata Tania.
Tania terharu dibuatnya. Dengan aliran air mata dan senyuman bahagia, ia menggangguk mantap.
Setelahnya, Ben berlutut di hadapan Tania dan memakaikan cincin di jari manisnya. Tania semakin terharu hingga tak mampu berkata-kata diiringi oleh tepuk tangan riuh.
Momen yang sempat tertangkap mata Sherra, seketika membuat kakinya lemas hingga tak sanggup berdiri. Kembali dia meneguk bergelas-gelas wine, hingga sebuah tangan tiba-tiba mengangkat gelas yang hendak mendarat di bibir Sherra.
“Kalau tidak sanggup melihat, ayo keluar!” ajak Farren. Sesungguhnya, dari tadi dia menahan diri. Hanya diamatinya Sherra dari kejauhan, namun tak lepas dari pengawasannya. Terutama melihat tingkah Ben dengan segala kepalsuannya, membuat Farren muak. Bagaimana Ben bisa semeyakinkan itu di hadapan Tania, sementara jauh dalam hatinya sendiri masih menyimpan nama Sherra.
Sherra hanya tersenyum kecut. “Biarkan aku, sekali saja. Aku sedang tidak punya tenaga untuk berdebat,” pintanya memelas, dengan sorot mata penuh luka dan putus asa.
Farren lemah tak berdaya. Namun di saat yang bersamaan pula amarahnya membuncah.
Sherra kembali meraih gelas wine di tangan Farren.
Farren tak berdaya, selain hanya melihat Sherra kembali terluka. Ditatapnya Ben yang kini sedang tersenyum bahagia.