Ben sudah kembali menyambut para tamu undangan dan merayakan pesta pertunangannya, sementara Sherra memilih tak ingin bergabung lagi di pesta. Dia termangu dan masih terduduk di tempat tadi ia ditemukan oleh Ben. Kenyataan masih membuatnya shock dan terguncang. Kini, Sherra rasanya mati rasa. Hampa.
“Di sini rupanya, aku mencarimu dari tadi. Jika kamu sudah tidak menikmati pestanya, ayo pulang!” Farren berujar, lalu diraihnya tangan Sherra lembut untuk membantunya berdiri.
Dengan gerak refleks, Sherra justru tak mau disentuh. Dia menarik tangannya. “Aku bisa jalan sendiri,” Sherra bangkit berdiri dengan lemah kemudian mendahului Farren.
Penolakan Sherra kembali menyulut bara api dendam. Namun, Farren masih sanggup menahan diri dan bersikap sabar seperti biasa.
Selama perjalanan pulang tak ada yang saling bicara. Hingga mobil Farren sampai di depan apartemen Sherra, wanita itu turun begitu saja tanpa menoleh ke arahnya, dan tanpa kata-kata.
Tanpa banyak basa-basi, begitu Sherra turun, Farren segera memacu mobilnya tak tentu arah. Diiinjaknya pedal gas sekuat tenaga. Seiring dengan kecepatan laju mobil Farren yang membelah malam, secepat kilat pula adegan menyakitkan itu kembali berputar di memori Farren. Ketika Sherra berlari memeluk Ben dari belakang, ketika keduanya berpelukan hangat, ketika Ben mengusap air mata Sherra, dan adegan ketika Ben menenangkan Sherra. Tatapan mata Sherra yang begitu hangat dan penuh cinta membuatnya sangat marah. Tatapan yang tak pernah diberikan Sherra untuknya.
Hingga pada satu titik, Farren merasa lelah. Ditepikannya mobil hingga ke bahu jalan. Dinyalakannya lampu tanda darurat dan dengan segera melepas seatbelt yang terasa membelenggu. Ditelungkupkannya wajahnya di atas kemudi, merayakan remuk redam yang bergemuruh di dadanya. Kenapa sesesak dan sesakit ini? Kenapa? Sekeras apa pun aku berusaha, aku tak mampu meraihmu…Sherra.
***
Setelah acara, Ben tak banyak bicara. Tania menangkap ada yang mengganggu Ben meski ia tak tahu itu apa.
“Kamu tadi sempat menghilang, ke mana?”