Ketika Jiro terbangun dia menemukan dirinya terbaring di atas batu besar di sebuah ruangan luas. Ratusan api kecil melayang-layang menerangi ruangan tersebut. Dia tersadar tanpa tahu dimana, bagaimana dan untuk apa dirinya ada di sana. Kepalanya hanya diisi adegan singkat dirinya mati. Jiro kehilangan semua ingatannya kecuali bahasa dan detik-detik kematiannya.
Jiro dengan segera beranjak dari titik dia bangun. Entah berapa lama dia terbaring di sana, suara-suara aneh terdengar saat tubuhnya digerakan. Pegal dan kaku menguasai tubuhnya, tetapi itu bukan efek penuaan. Dia mampu memposisikan tubuhnya untuk duduk di tepi batu persegi itu. Dia meraba-raba mencari titik kejanggalan tetapi, tidak ditemukan apa-apa. Seragam dan jas almamater jingga yang dikenakannya terlihat biasa saja tak ada robekan ataupun noda. Semua yang ada pada dirinya bersih seolah-olah kematiannya hanya mimpi.
Pemuda itu mengedarkan pandangannya samar-samar terlihat linglung. Dia menopang dagu sambil berpikir dalam-dalam ditemani kesunyian.
“Dimana aku? Apa yang terjadi? Tempat apa ini?”
Pikirannya bertanya-tanya. Saat ini, Jiro melihat puluhan pintu yang tengah mengelilinginya. Di masing-masing pintu, sebuah papan kayu menggantung bertuliskan Hammel, Sandalphon, Israfiel, Raphael, Gabriel dan nama malaikat lainnya.
Untuk pertama kalinya, Jiro berpikir itu adalah pintu kamar atau ruangan lain atau jalan keluar. Namun, ketika dia melihat lebih teliti, Pintu itu menunjukkan keraguan berupa pintu lain di belakangnya. Kesimpulannya pun menghilang.
“Apa maksudnya?” tanyanya dengan heran tidak kepada siapa pun.
Jiro menancapkan niat untuk berdiri dan berjalan mengesampingkan tubuhnya yang kaku. Dia berpikir tak ada gunanya memikirkan apa yang telah terjadi. Kehidupannya yang dulu terhapus. Satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah mengenali tempat ini. Satu-satunya yang diinginkannya adalah informasi yang dapat membawanya keluar dari tempat ini. Jiro menghampiri salah satu pintu berwarna biru dengan papan kayu bertuliskan Gabriel. Jiro ingin melihat lebih dekat memastikan apa yang dilihatnya barusan. Dia mencari jalan keluar. Namun, yang terlihat hanyalah daun pintu tanpa knop dan tak memiliki apapun lagi selain pintu lain di belakangnya. Jelas itu bukan pintu keluar. Menyadari hal ini, Jiro mulai berkeliling memastikan semua pintu sama atau tidak.
Jiro menghentikan langkah kakinya di samping pintu biru dan berdiri di depan pintu baja dengan papan kayu bertuliskan Rochel. Dia mengangkat tangan kirinya untuk menghitung apa yang diketahuinya dengan harapan menemukan maksud dari semua ini. “Semuanya sama, bagaimana bisa aku berada disini? Itu berarti pintu tidak digunakan keluar masuk. Ada empat puluh pintu yang tampak, semua pintu berbeda-beda, masing-masing pintu ada namanya, hanya ada beberapa pintu yang ada knopnya dan di belakangnya ada pintu lain. Apa ini? Teka-teki?”
“Keputusan tepat aku belum menyentuhnya. Apa aku harus menyingkirkan semua pintu ini dulu?” ucapnya sambil menghela napas dan melihat kesekeliling.
Jiro tahu apa yang akan dia lakukan, tetapi dia tidak yakin akan keputusannya. Dia memikirkan ini dua kali. Kemudian, dia mengalihkan pandangannya pada satu pintu berwarna putih polos di samping pintu baja. Jiro menghampirinya dengan bimbang. Papan kayu yang menggantung bertuliskan nama “Elvriesh”.
Pintu itu tampak lebih tipis daripada yang lainnya. Namun, pintu itu dapat berdiri di hamparan tak terbatas tanpa penyangga atau ambang pintu atau yang lainnya. Satu baris pintu akan jatuh hanya dengan dorongan kecil. Jiro dapat memanfaatkan efek berantai yang dihasilkan dan membuat ruang di antara pintu-pintu atau menjatuhkan semuanya sehingga dirinya dapat menemui dinding atau semacamnya.
Itulah rencana yang ada dalam pikirannya, tetapi Jiro hanya menyentuh pintu itu dan secara mendadak pintu tersebut mengeluarkan cahaya teramat terang sampai menimbulkan rasa sakit di mata. Refleks dan tangan-tangannya seketika mengalihkan pandangan untuk melindungi mata. Namun, itu tidak cukup. Cahaya itu menyebar sangat luas. Jiro dapat melihat cahaya merah dari gumpalan darah pada tangan dan kelopak matanya. Cahaya tersebut membayang selama dua detik penuh.
Ketika sinar itu tak lagi membayang dalam kelopak matanya, Jiro kembali membuka mata seakan-akan semua itu tak pernah terjadi. Jiro saat ini tengah menumpukan seluruh beban tubuhnya pada kursi besi seperti tamu yang sopan. Sekejap, situasi dan kondisi berubah dan hatinya pun demikian. Jiro sekali tampak linglung.
Ruangannya tidak jauh beda dan dindingnya juga masih tidak tampak. Satu hal yang paling berbeda adalah lantainya yang berpola kotak-kotak papan catur. Lalu di hadapannya, tersedia meja bundar dan kursi lain bermaterial logam berwarna putih.
“Sesaat yang lalu, aku berdiri. Bagaimana bisa? Apa yang terjadi dengan pintu-pintunya?” pikirannya bertanya-tanya.
Tak lama setelahnya, seseorang turun dari atas mengenakan gaun pengantin putih tanpa memakai tudung. Rambut putih panjangnya terurai mengambang mengabaikan gravitasi. Keberadaannya seperti tenggelam dalam air. Dari ciri fisiknya, tampaknya wanita itu adalah malaikat. Dia memembentangkan sepasang sayap putih dan kecantikannya tiada duanya. Dia terlihat manis walaupun sedang memasang wajah datar. Matanya terlihat lebar dan pipinya memiliki porsi yang pas tidak gemuk dan tidak kurus. Bibirnya terlihat tipis dan kulitnya kekuningan seperti orang Asia Timur.
“Jiro Kawanaga benarkah itu adalah nama Anda?” katanya.
Suaranya adalah campuran suara lemah lembut dan suara basah yang tipis, terdengar datar, tetapi indah. Dan sepertinya, sang malaikat bertanya. Nada dan ekspresinya tidak berubah sehingga sulit untuk dibedakan.
Jiro diam dan bungkam saat melihat aksi melayang sang malaikat di hadapannya. Ketika sang malaikat bicara, Jiro terlambat merespons. Penampakan dan suaranya membawa pandangan Jiro tetap pada sudut yang sama, wajah sang malaikat.
“Y-ya, dan kau Elvriesh? Di mana ini?” balas Jiro mencoba sesantai mungkin.