“Mo ii. Kao agete,” katanya dalam bahasa Jepang. Artinya, “Cukup, angkat kepalamu.” Ini menjadi bukti bahwa Jiro mengakui loyalitas Elvriesh.
Jiro mengingat bahwa penampakan wujud sang malaikat Elvriesh saat ini adalah teman khayalan masa kecilnya. Dia adalah sesosok yang pernah disebut hantu oleh Jiro sejak kecil.
“Oui, Master.” Elvriesh memberi respons cepat dengan loyalitas tertinggi miliknya. Dia berdiri dan menatap wajah Jiro.
“Elvriesh, apa itu benar kau?”
Kini mereka saling menatap seperti sepasang kekasih yang dipertemukan kembali setelah terpisah lama sekali. Seyuman yang tertahan ada di wajahnya setelah Jiro menyelesaikan perkataannya. Dia menunggu jawaban Elvriesh.
“Oui, Master, sebuah kehormatan besar berada di hadapan Anda,” jawab Elvriesh datar dengan nada formal.
“Terima kasih sudah menungguku, Elvriesh.” Ini yang ingin Jiro sampaikan setelah dia mendapatkan ingatanya kembali. Topik yang berhubungan atau hal-hal lain yang ingin diucapkan tidak pernah ada. Baginya, Elvriesh lebih seperti seorang ibu yang menemani masa kecilnya, tetapi hubungan ini tidak kuat, Elvriesh tak begitu berharga baginya. Meskipun begitu, hubungan tersebut hanya ada untuknya (khusus).
“Keinginan Anda adalah prioritas utama,” balas Elvriesh disertai bungkukan.
Jiro tidak mendengarkan balasan Elvriesh. Dia mengalihkan pandangnya ke atas, sambil menghirup udara dengan tenang. Untuk sesaat, Jiro memikirkan proyek yang sudah diperjuangkannya selama lima tahun lebih. Itu adalah proyek pembuatan game yang diklaim olehnya sebagai game terbaik sepanjang masa meski, belum jadi. Game tersebut berjudul “Magica” berjenis RPG dengan alur cerita terserah pemainya.
Jiro menarik kesadarannya, meninggalkan lamunannya dan melihat kembali lembaran kertas kosong buku Le Dimiouru. Dia memutuskan untuk melanjutkan proyek tersebut tetapi, dalam bentuk lain. Dia ingin sesuatu yang lebih nyata. Tidak, Jiro ingin game buatannya menjadi nyata. Namun, sebelum menulis permintaan, Jiro menutup buku tersebut dan berjalan menghampiri Elvriesh untuk duduk di kursi. Jiro membutuhkan konsentrasi penuh untuk memilih setiap kata supaya permintaan yang dibuatnya terwujud sesuai dengan harapannya. Elvriesh tanpa isyarat berdiri disampingnya.
“Elvriesh kamu menggangguku. Bisakah kamu berdiri agak jauh?” Tanpa melakukan kontak mata Jiro memberi perintah tak langsung berupa pertanyaan. Dia bermaksud membungkamnya walaupun dirinya sendiri tahu bahwa Elvriesh takkan pernah angkat suara tanpa perintahnya. Jiro memiliki kebiasaan unik, yaitu ketika dia sudah memastikan sesuatu, maka dia akan bersiaga mencari memungkinan lain.
“Oui, Master,” balas Elvriesh memahami maksud Jiro. Dia membungkuk dengan rasa hormat mendalam kemudian keberadaannya lenyap digantikan keheningan.
Itulah sesuatu yang Jiro inginkan. Keheningan dapat menenangkan pikirannya. Duduk di kursi membuatnya nyaman untuk menulis apapun. Pandangan yang monoton tanpa ada yang menjanggal meningkatkan konsentrasi miliknya. Namun, masalah lain muncul. Jiro tidak tahu dan tak memiliki rencana untuk memulainya. Dia masih belum memikirkan apapun. Lagi pula, ini terjadi terlalu cepat.
“Aaargh …, iya juga, game cuma kumpulan gambar, isinya kosong. Masih banyak bug lagi … Cih, si Harrish ngomongnya gampang amat.” Jiro mendengus mengingat kembali laporan Harrish tentang game buatannya. Harrish adalah orang terdekat selain Verra. Dialah beta tester game milik Jiro.
Setelah Jiro berdecak, pikirannya terbuka atas perkataannya sendiri. “Kalau kosong tinggal diisi aja, ribet amat.”
Saat ini Jiro kagum pada dirinya sendiri. Wajahnya mengembangkan senyuman yang menyambut ide gila yang datang padanya. Luas total map pada game buatannya seluas tiga benua yang ada di Bumi. Ide gila yang merasukinya adalah proyek pembuatan planetnya sendiri atau dapat diartikan dunia baru kehidupan baru. Namun, sebelum itu semua terkabul, Ada satu permintaan yang menjadi bahan pertimbangannya. Dia memikirkan satu permohonan; “aku ingin planet berpenghuni berbagai ras”. Namun, dia tidak bisa menulis permintaan semacam itu. Pikirannya selalu menghentikan tangannya. Jiro tahu permintaannya tersebut tidak akan terwujud sesuai harapannya dan malah memaksanya menulis permintaan lain untuk melengkapinya.
Jiro melipat tangan di depan dada dan menatap buku Le Dimiouru sambil mengerutkan dahi. Kepalanya melakukan simulasi sangat lama. Jiro memikirkan permintaan apa yang akan melengkapinya dan kemungkinan-kemungkinan lain yang akan terjadi dan permintaan apa yang bisa menutupinya. Namun, pada akhirnya, pemuda itu menyerah dan melepas semua permintaan yang menjadi bahan pertimbangannya. “Percuma, kebanyakan. Ini mah musti ditulis semua. Oke, kita namai ini rencana B.”
Jiro mendekatkan buku yang sedari tadi ada di hadapannya dan mulai menulis permintaan dengan telunjuk kanan miliknya. Dia meminta sebuah pensil yang sudah diserut dan penghapus. Ini bertujuan untuk mengontrol semua kata dan kalimatnya. Lalu untuk permintaan ketiga, dia meminta sistem tata surya baru yang diwujudkannya di Galaksi Bima sakti. Jiro mewujudkannya di sana untuk memudahkannya dalam mengawasi dan juga dia tidak perlu membuat semesta yang baru. Untuk selanjutnya, dia akan menulis semua rincian yang diperlukan dan mewujudkannya di salah satu planet di dalam tata surya tersebut. Itulah rencana miliknya. Namun, sebelum Jiro menulis semua rincian yang diperlukan dia ingin melihat hasil dari permintaan ketiga dengan memanfaatkan kekuatan sang malaikat, Elvriesh. Jiro menoleh dan berbalik mencari kebaradaannya. Sebenarnya, Jiro bisa saja memanggil Elvriesh tetapi, kali ini berbeda.
Pemuda itu menengok ke kiri dan kanan disertai ekspresi keterkejutan. Dia tak menyangka Elvriesh akan meninggalkannya sendirian. “Eh…?! El….” Jiro menghentikan panggilannya saat dia melihat titik putih dari kejauhan. “Apa kau membenciku, Elvriesh?” tuntut Jiro dengan nada meninggi menginginkan jawaban secepatnya.
Di sisi lain, Elvriesh merespons tuntutannya lalu berlutut. “Elvriesh mempersembah segala sesuatu yang menjadi kepemilikan saya termasuk hati ini,” ucap Elvriesh lempeng.
Jiro terdiam menurunkan pandangannya, dia menyadari bahwa selama ini dirinya terlalu naif. “Jadi…,” ucapnya tertahan dalam mulut. Elvriesh masih meneruskan perkataannya. Jiro berpikir ulang. “Elvriesh, kau hanya menurutiku atas perintah orang lain, begitu?” pikirnya bertanya-tanya.