Lin dan Elvriesh berada di balkon hotel. Mereka memiliki penampilan yang berbeda hari ini. Keduanya berpakaian longgar. Lin berbaju coklat polos dan bawahan panjang berwarna hitam. Sementara itu, Elvriesh memakai baju dan bawahan panjang berwarna biru muda, bergambar titik-titik dan lingkaran sebagai gambar langit.
Dia sudah lama berdiam di sana. Matanya memandang datar pemandangan. Raut wajah Lin begitu menyedihkan. Wajahnya menampilkan kantuk yang dideritanya.
Satu setengah jam yang lalu pukul sebelas malam, Lin memang tertidur pulas tanpa sepengetahuannya. Namun, satu setengah jam kemudian dia terbangun dan langit malam masih belum berubah. Lin terjaga karena memang sudah menjadi kebiasaan baginya untuk tidur 6 jam tepat. Satu min sama dengan satu detik di Bumi dan satu detik di Arqush sama dengan empat min. Lin cukup tahu Arqush mamiliki waktu 4 kali lebih banyak.
Oleh karena itu, Lin tidak panik atau bertanya-tanya, tetapi dia sedikit tersentak dan kecewa. Waktu makan tetap sama tiga kali sehari. Walaupun dia sudah memprediksi ini, dia masih tetap kecewa sebab semua penghuni Arqush sudah terbiasa sejak awal. Sebagai hasilnya, hari 96 jam hanya dinikmati olehnya. Meski demikian, Lin tidak menyesalinya. Sewaktu hidup di Bumi bahkan sampai sekarang, Lintar adalah makhluk hibrida abnormal. Tubuhnya terbentuk dari darah Sunda dan Jepang. Baginya beraktivitas 90 jam itu sudah biasa. Dia dapat dengan mudah menyesuaikan diri. Dia bahkan menikmatinya tanpa merasa lelah sedikit pun.
Sebuah gelas yang berisikan air ungu ada di tangan Lin. Lengan pemuda itu menjepit hatihati gelas di tangannya. Lalu, dengan jari-jari yang bergetar, Lin meneguk minuman tersebut.
Yang dia minum bukanlah minuman ber-alkohol yang memabukan. Minuman itu adalah minuman ber-energi yang membuat mata lebih bersemangat, minuman yang sangat diminati ketika malam atau pagi tiba. Orang-orang menyebutnya siter. Walaupun sangat encer, ketika memasuki rongga mulut, itu terasa seolah kental. Rasanya sedikit manis dan wanginya seperti kelapa muda dan tidak memiliki efek sihir di dalamnya, tidak mengecewakan.
“Gak waras,” kata Lin.
Dia terlihat sangat terkejut seolah menerima kabar yang tidak disangka. Lin mengingat kembali betapa panjangnya hari ini atau boleh dikatakan kemarin pagi. Namun, ini tidak sesederhana yang terpikirkan.
Lin pada mulanya ingin banyak menghabiskan waktu di perpustakaan, tetapi penglihatannya teralihkan sesaat. Dia melihat gambar-gambar tersamarkan di hadapan seseorang pengunjung perpustakaan. Rasa penasarannya pun meningkat saat itu dan hal itu membuatnya berpaling, lalu pergi ke Kota Parianka, kota strategis untuk perdagangan. Dia banyak mengahabiskan waktu di sana bersama Elvriesh. Lin kesana kemari banyak mencoba makanan dan mendandani Elvriesh, seperti kencan. Dia juga banyak membeli barang–yang kegunaannya belum tentu berguna untuknya–dan senjata seperti, pedang dan tongkat sihir. Lin mengabaikan uang-uang itu dan hanya memikirkan keinginannya. Hingga malam pun tiba, dia membuka matanya dan melihat bahwa itu nyata. Saat itu, dia tersadar.
Lin mengetuk dua kali meja makan dan memesan satu gelas minuman. Dia berjalan sempoyongan seperti mabuk, membuka pintu dan berhenti di batas balkon. Elvriesh yang tidak tidur beranjak dari ranjang mengikuti Lintar. Lin memandang kosong pemandangan, dia tersentak dengan banyaknya uang yang dimilikinya. Empat lembar dengan sentuhan emas itu bukanlah uang, melainkan semacam surat berharga dengan isian sepuluh ribu kaslingkar. Satu lembar uang tersebut telah pecah menjadi lembar-lembar lain yang sangat berharga. 5 kaslingkar-nya adalah uang saku minimal para bangsawan untuk satu hari. Surat itu cukup untuk biaya hidupnya seumur hidup. Mungkin bagi orang kecil, itu akan membuatnya bertekuk lutut dan bersujud syukur dengan wajah berlinang air mata, tetapi Lin tidak menjadi bagian orang-orang tersebut. Ketika dia sadar benda itu bernilai terlampau tinggi, dirinya ingin berteriak “gila” tanpa henti. Namun, dia tidak melakukannya karena itu sudah melampaui batas imajinasinya dan mungkin sekarang otaknya sedikit rusak.
Lin tertawa ringan sesaat tanpa sebab. “Ini nyata,” katanya lagi.
Pada mulanya, dia menganggap semuanya mimpi. Lin dikelilingi oleh hal-hal yang belum pernah dia lihat. Ketika dia mengunjungi toko barang-barang semacam toko elektronik yang orang-orang sebut sebagai zonatrik, dia melihat kalender yang menunjukkan tanggal 14/11/1135. Kemudian dari data itu, dia menyimpulkan bahwa dirinya sudah melewati waktu 4.540 tahun waktu Bumi. Artinya, itu sudah terlampau jauh dari apa yang dia minta.
“Elvriesh, apa yang terjadi dengan permintaanku?” tanya Lin dengan senyuman yang tampak hangat. Dia tidak bisa menanyakan ini kepada siapa pun selain Elvriesh saat ini.
Elvriesh membalas dengan jawaban yang pernah dilontarkannya. “Permohonan Anda telah terwujud, Master.”
“Apa aku melakukan kesalahan, Elvriesh?” tanyanya kepada Elvriesh, tetapi sesungguhnya dia menanyakan itu pada dirinya sendiri.
Posisi keduanya tidak berubah. “Dengan segala hormat, tiada satu pun dari tindakan Anda yang merupakan kesalahan. Satu-satu dari segalanya merupakan kesempurnaan. Elvriesh sebagai malaikat ketiga mengulangi untuk sekali kali lagi mengabdikan segala sesuatu yang menjadi kepemilikan saya.” balas Elvriesh selanjutnya kembali menegakkan tubuhnya.
Di tengah ucapan Elvriesh, Lin meneguk minumannya sampai habis dengan cara yang biasa. Kemudian, gelas ditangannya itu pecah menjadi butiran debu keperakan dan menghilang. Gelas itu adalah barang sekali pakai.
Dia tidak marah ataupun menyesali segala perbuatannya. Suasana tenang dan suara Elvriesh yang monoton berhasil membuatnya tenang. Bagaimanapun situasinya Lin hanya perlu mengangkat pensilnya. Meski buku Le Dimiouru tidak di tangannya, Lin menyakinkan diri bahwa itu akan kembali ke tangannya. Dia berencana pergi ke perpustakaan untuk mencari kabar kebakaran besar atau hal-hal yang menyangkut tentang buku itu. Dia berniat memantaunya dari jauh.
Dan untuk sekarang, Lin menunggu aktivitas pagi orang-orang. Tidak ada yang bisa dilakukan olehnya pada jam-jam seperti ini. Rencananya hanya berjalan saat itu tiba. Kembali tidur, itu tidak bisa dilakukan. Berkeliling hotel, itu akan menimbulkan kecurigaan. Semua fasilitas ada dalam ruangan. Orang-orang bepergian dengan transitor. Tangga dan koridor tersedia untuk hal-hal darurat. Kedua pelengkap itu terawasi oleh penjaga hotel–dan entah sejak kapan itu hanya digunakan oleh para penjaga.
Kini, Lin memandangi langit malam tidak bisa tidur sedangkan Elvriesh memang tidak butuh tidur. Lin merasa sendiri walau Elvriesh ada di sampingnya. Lin berdiri di balkon menikmati pemandangan sambil menghirup udara malam. Suasana tidak dilengkapi percakapan. Elvriesh berdiri tepat di sampingnya sudah seperti hantu yang tak terlihat, Lin tidak bisa melanjutkan perbincangnya. Sedikit saja dia bicara, Elvriesh menanggapi itu dengan banyak puji-pujian. Dan juga, wajah datarnya membuat Lin memilih berpaling. Lin setidaknya berpikir dirinya aman dalam pikirannya.
Dulu, situasi dan kondisi benar-benar berbeda, dia sama sekali tidak kesepian, waktu malam berlalu dengan cepat dan ada dua lainnya yang sama dengannya dan satu keberadaan lain. Harrish, Verra dan Elvriesh, mereka selalu datang memenuhi perpustakaan pribadi atau kamar miliknya ketika malam tiba. Lin menyimpan kenangan itu jauh di lubuk hatinya yang terdalam.
“Dia benar,” gumam Lin. Elvriesh berpikir tuannya bicara sendiri. Oleh karenanya, dia tidak menyahut. “Pemandangannya bagus,” gumamnya lagi.
Lin berdiri di balkon lantai tiga Hotel Letnas yang juga berdiri di dataran tinggi. Pohon-pohon tidak bisa menghalangi matanya untuk melihat pemandangan kota dan langit malam. Bangunan-bangunan yang menjadi perumahan atau apapun terlihat jelas. Pohon-pohon sengaja dibiarkan tumbuh menjadi habitat makhluk-makhluk kecil bercahaya seperti kunang-kunang. Itu adalah makhluk yang sama dengan yang Lin lihat di hutan. Serangga itu mengerluarkan setitik kecil dan sebuah cincin bercahaya yang mengelilinginya. Orang-orang biasa menyebutnya Marea, jenis serangga yang selalu ada sepanjang musim di setiap peradaban.
Langit malam tidak dipenuhi bintang-bintang tetapi, sebagai gantinya terdapat tiga satelit indah yang mengorbit Arqush. Masing-masing juga memiliki bulan yang lain. Bulan putih yang paling normal berada tepat di atas kepala Lintar. Bulan merah yang terbesar keberadaannya mulai terbenam di cakrawala. Bulan biru yang paling jauh ada di tengah keduanya. Beberapa pencahayaan yang berasal dari bangunan para penduduk menciptakan bintang-bintang seolah mencerminkan langit. Beberapa tempat sering kali terlihat siang. Orang-orang menyebut area itu sebagai bulannya kota.
“Meski, aku sering melihat ini di Bumi, ini tidak membuatku bosan. Tapi entahlah, bawaannya bosan juga.”
Lin menilai langit itu bersikap malas. Lalu, seiring berjalannya waktu, Lin mulai bosan. Dia menyentuh dua kali badan batas balkon hingga muncul opsi. Terdapat banyak opsi untuk bentuk badan batas balkon. Bahkan Lin bisa memilih opsi untuk berkreasi sendiri. Dia menatap opsi dan merubah-rubah bentuk balkon secara acak. Lin melakukan hal itu hanya untuk mengisi rasa bosannya. Lin melakukan itu perlahan hingga rasa bosannya itu berada pada batasnya. Dan tanpa disadari olehnya, dia sudah terbiasa dengan permintaan.
Lintar melebarkan bentuk balkon tanpa pembatas. Dia membuat arenanya sendiri. Lin mengarahkan diri ke alur melatih tubuhnya berpedang. Dengan kesungguhan hati, dia mengambil kuda-kuda, menarik napas dan seolah menghunuskan pedang, dia menaikturunkan tangannya. Lalu setelah beberapa kali, dia mengeluarkan pedang yang dibelinya dari cincin ruang. Ini adalah pengalaman pertama baginya memegang pedang. Namun, niatnya untuk belajar sudah bulat. Rencananya pun bertambah. Esok pagi, dia berencana mencari apa-apa yang dibutuhkan untuk masuk sekolah.
Sekarang, Lin hanya mengira-ngira beberapa gerakkan yang pernah ditunjukkan Verra padanya. Walaupun, itu akan sulit dijadikan sebagai dasar, dia tetap melakukannya. Lin berniat membiasakan tangannya dan berkeringat.
Bentuk pedangnya sedikit melengkung dengan mata bergerigi, berwarna merah tebal tampak berat padahal ringan. Pedang itu terbuat dari berlian pipih secara keseluruhan. Menurut penjualnya yang juga pembuat dan penempa pedang itu, Lin memiliki kecocokan yang sempurna. Pembuatnya mengatakan, pedang dan Lin dapat menjadi satu kesaatuan. Namun, Lin tidak begitu mengerti. Jadi, dia membelinya dengan alasan penasaran saja. Sebelum pedang itu menjadi miliknya, penjual yang juga sebagai penempa meminta darah Lin dan menggabungkan keduanya.
Setelah melakukan banyak gerakan yang terkesan asal dan terlihat tak bertenaga, dia memutar tubuhnya. Lin menyiapkan diri untuk mengayunkan pedangnya dari samping. Namun, Lin merasakan ayunanya terasa semakin berat hingga memaksanya mengeluarkan tenaga lebih. Dia juga secara tak sadar melebarkan kaki-kakinya hingga membentuk kuda-kuda yang kuat. kemudian sesuai dengan ayunannya, lutut kanannya semakin di depan. Dia menciptakan ayunan horizontal sempurna. Lalu, apa yang selanjutnya terjadi adalah proses pembentukan gelombang kejut yang terfokus dan terarah mengikuti ayunan pedangnya.
Gelombang itu terbentuk di sekitar lengkungan cahaya kemerahan yang berasal dari pedang. Sementara itu, cahaya terbentuk setelah pedangnya semakin berat dan mulai memanas sampai menyala kemerahan. Ayunan pedang menciptakan lengkungan cahaya yang berisikan tegangan listrik jutaan volt disepanjang guratannya. Oleh sebab itu, tebasan juga diiringi dentuman keras yang memekakkan terlinga.
Lin tentu terkejut ketika itu terjadi, tetapi dia cukup yakin tidak ada yang akan datang untuk memarahinya. Serangan itu hanya memotong ranting dan tidak terarah kepada siapa pun. Orang-orang sedang tertidur pulas di kamarnya masing-masing dengan perlindungan kekkang. Selama kekkang-nya tidak tersentuh, apapun yang dilakukannya bukanlah ancaman. Namun, seorang penjaga hotel telah berdiri di belakangnya.
Penjaga hotel itu tampaknya masih muda. Dia memakai pakaian rapi, semacam kemeja berwarna merah mencolok. Pakaian tersebut merupakan seragam para penjaga hotel. Warna merah dipilih dengan upaya orang-orang dapat dengan mudah dan cepat melihatnya. Dia membaca siapa Lin sebenarnya lewat suatu opsi yang melayang di hadapannya. Lin tidak dapat melihat opsi itu sebab gambarnya dikaburkan (tidak jelas).
Penjaga itu berkata dengan ramahnya, “Apa yang Anda lakukan?”
“Aku sedang mencoba pedang ini …, karena tidak bisa tidur,” balas Lin menunjukkan pedangnya. “Ya, kau pasti paham, kan? Ketika hening, situasi mulai membosankan.”
Penjaga itu tidak menunjukkan ekspresi marah. Wajahnya ramah dan dia mengembangkan senyumnya yang jelas dibuat-buat. “Baik, saya mengerti. Perlukah saya mengantar Anda ke dokter?”
Lin mendengar kata-kata menusuk itu dan mungkin itu juga menusuk hatinya. Dia tidak marah walau itu membuatnya tersentak. Baginya, itu adalah kalimat basa-basi. Lin memang anak berkebutuhan khusus, ibunya pun menyedari hal ini.
“Tidak, tidak, tidak perlu repot-repot. mungkin aku membutuhkan psikiater,” balasnya dengan senyum yang sama.