Winda POV
Aku ingat pagi itu ketika aku baru menyelesaikan satu halaman naskahku setelah semalaman berusaha keras mengerjakannya. Gelas-gelas kopi dan camilan masih berserakan di meja, layar laptop yang masih menyala, tumpahan kuah mie di lantai yang tidak sempat kubersihkan dan tumpukan buku refrensi yang terlalu malas kukembalikan pada tempatnya. Aku benar-benar seperti kembali pada kebiasaan di masa mudaku.
Tapi di usiaku ini aku sudah tidak produktif lagi. Jangankan satu halaman, terkadang semalaman saja aku tidak bisa menghasilkan tulisan apapun. Ide yang semula muncul di otakku tiba-tiba hilang begitu saja saat aku berhadapan dengan layar laptop. Berbeda dengan beberapa tahun lalu saat aku hanya menggunakan mesin ketik, saat itu ide dalam otakku tidak terbendung. Andai saja mesin ketik tua itu tidak rusak, aku pasti lebih memilih menggunakannya dibanding keyboard laptop.
Setelah merenggangkan jari-jari tangan dan punggungku, aku memutuskan untuk membersihkan meja. Gelas kotor dan sisa cemilan kubawa ke dapur. Tidak lupa aku membawa kain pel dari dapur untuk membersihkan sisa tumpahan kuah mie. Aku berpikir untuk memasak hari ini setelah seharian kemarin hanya memakan mie instant.
Namun baru saja hendak mengembalikan kain pel ke dapur, kudengar ketukan pintu dari luar. Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan pagi. Masih terlalu pagi untuk kurir paket atau tukang galon untuk mengantar pesananku. Sejak memutuskan bercerai, aku memilih tinggal sendiri di rumah peninggalan orang tuaku. Anak-anakku sudah kulia dan bekerja, mereka tidak harus memilih tinggal dengan ibu atau ayahnya. Sebulan sekali mereka akan berkunjung, tapi itu pun jika mereka ada waktu. Jadi aku tidak yakin jika yang mengunjungiku adalah salah satu dari mereka.
Kuletakan kain pel di kolong meja, lalu bergegas menuju pintu depan. Rambutku yang masih berantakan kugelung asal-asalan. Aku tidak siap menerima tamu sepagi ini.
"Siapa ya?"
Saat pintu kubuka, tampak seorang perempuan muda berambut sebahu nyaris seumuran dengan putri bungsuku. Wajahnya oval, bibirnya tipis, bentuk matanya monolid dan kulitnya putih langsat. Dia mengenakan kemeja flanel dengan kancing terbuka dan kaos dalam berwarna hitam, totebag dan jam tangan digital. Sekilas dia tampak seperti anak kuliahan.
"Ada keperluan apa?" tanyaku sekali lagi. Barangkali dia sales atau anak tetangga yang membutuhkan sesuatu.
"Tante... Winda Ayu Dewi?" ucapnya menyebut nama lengkapku.
Aku mempertajam pengelihatanku untuk mengenalinya. Tapi tetap tidak berhasil. Dia mengenalku dan mengetahui nama lengkapku, jadi dia mungkin bukan orang asing. Ada beberapa keponakan dan kerabat jauh yang sering tidak bisa kukenali karena sifat lupaku, jadi aku pikir dia mungkin salah satu dari mereka.
"Iya, benar."
Gadis itu menurunkan tangannya yang sejak tadi menggenggam tali totebag di pundaknya.
"Akhirnya saya bisa bertemu tante..." meski wajahnya tidak setegang semula, tapi raut wajahnya tetap terkesan datar. Tidak banyak ekspresi yang tampak disana. Apalagi senyuman.
"Kamu kenal saya?"
Dia menggeleng.
"Lalu?" aku makin bingung hingga lupa mempersilahkannya untuk masuk.
"Almarhum ibu dan mama saya yang mengenal tante..."
Seketika itu aku membulatkan mata. Cara berbicara gadis ini cukup aneh. Seolah ada kesedihan di dalamnya. Dan dia pun menatapku dengan mata berkaca-kaca.