Anoushka - The Cruel World

Sandri Nur Pasha
Chapter #14

Kau adalah aku, tapi aku bukan kau

Josias mulai merasa muak melihat setiap lekukan tubuh penari perut manusia yang sudah menari untuknya selama tiga hari berturut-turut tanpa diizinkan berhenti, tanpa diberikan minum maupun makanan itu. Tapi Josias tetap mencoba fokus pada tarian yang mereka lakukan, walaupun dengan wajah yang sudah ditopang dengan sebelah tangannya. Dihadapan singgasana Josias yang hanya diisi warna putih bersih itu, lima orang penari perempuan berkulit gelap dengan pakaian putih dengan bagian perut terbuka yang sengaja disediakan pelayan kediaman Josias karena Josias sangat tidak suka ada warna lain selain warna putih didalam ruang singgasananya.

Kelima gadis penari itu terus menari dengan nafas yang sudah hampir habis dan berkeringat disekujur tubuh mereka. Ada satu hal yang menarik perhatian Josias dari para penari itu. Selama tiga hari berturut-turut kelima gadis itu tidak menarikan tarian yang sama, mereka melakukan banyak jenis tarian tanpa berpikir untuk melakukan gerakan yang sama dari tarian yang sebelumnya mereka sudah lakukan. “Kalian gadis-gadis yang memiliki pendirian kuat.” Kata Josias angkuh, menatap mata salah satu gadis yang memiliki rambut pendek perak sebahu. Gadis itu adalah pemimpin kelompok penari ini. “Apa kalian berpikir masih sanggup melakukannya tanpa henti untuk satu minggu ke depan?” tanya Josias menatang, kali ini ia sudah bangkit dari tempat duduknya dan maju satu langkah.

“Satu minggu?!” seru gadis berambut perak itu. “Kau bilang hanya tiga hari dan kalau kami sanggup melakukan semua tarian ini tanpa henti, kau akan mengizinkan kami kembali?!” seru marah gadis itu.

Josias menyeringai, “Kau benar. Aku mengatakannya tiga hari yang lalu dan kurasa aku ingin sedikit mengkoreksi perkataanku tiga hari yang lalu itu karena sekarang aku benar-benar merasa muak melihat tarian yang terlalu sempurna ini.” ujar Josias remeh.

“Apa maksudmu?!” bentak marah gadis berambut perak, masih terus menari. Ia sedang melakukan gerakan berputar-putar seperti penari balet.

Josias terlihat tidak terpancing oleh seruan marah gadis itu. Ia terlihat berpikir sambil mengusap-usap dagunya. “Kurasa satu minggu akan lebih membosankan lagi. Bagaimana kalau kalian menari sampai aku putuskan kapan kalian boleh berhenti?” tanya Josias santai tapi masih dengan nada bicara yang mengejek.

“Kau!” gadis berambut perak itu tidak bisa mengendalikan amarahnya, akhirnya ia berhenti menari yang artinya dia akan mati ditempat saat itu juga.

SYUT.....SYUT....

Dua buah pedang jarum dilemparkan dengan cepat oleh Collin pada kepala dan jantung gadis berambut perak itu. Gadis itu kaku dan terkejut untuk sesaat tapi kemudian tewas seketika, ambruk ke lantai putih yang kini dikotori darah dari mulut gadis itu.

“Menjijikan.” Gumam sinis Josias melihat warna perak rambut gadis itu yang sekilas mengingatkannya pada Anoushka. Bahkan sikap keras gadis ini pun sangat mirip dengan Anoushka pikir Josias. “Apa semua gadis berambut perak memiliki perangai seperti ini?” gumam Josias.

“Apa anda mengatakan sesuatu?” tanya Collin dengan nada bicaranya yang sopan dan datar seperti biasa.

“Tidak” jawab Josias cepat, kemudian melihat keempat penari yang lain ikut ambruk di lantai karena ketakutan. Mata mereka membelalak sambil menutup mulut merekan sendiri. “Siapa yang mengizinkan kalian berhenti?” tanya Josias datar. “Apa kalian juga ingin berakhir seperti si perak ini?” Josias menendang mayat gadis berambut perak itu dengan kakinya, membuat mayat itu terlentang dan memperlihatkan ekpresi keterkejutannya sebelum ia meregang nyawa.

Keempat gadis itu tidak berani bicara apapun, mereka langsung kembali pada posisi masing-masing untuk memulai tarian lainnya. Mereka tidak punya pilihan karena mereka tidak ingin berakhir seperti si gadis berambut perak.

"Lakukan terus sampai kubilang boleh berhenti.” Kata Josias tegas, kemudian meninggalkan singgasananya begitu saja.

 

Josias kembali ke ruangannya untuk membersihkan diri dan beristirahat setelah hampir tiga hari pula dirinya tidak tidur, makan maupun mandi. Setelah kabar kemunculan kembali Anoushka, Josias tidak bisa memungkiri kalau dirinya mulai merasa was was dan tidak tenang, maka dari itu ia pikir mungkin para penari itu bisa sedikit mengalihkan perhatiannya tapi tidak. Josias malah semakin kesal dan tidak tenang.

Didalam ruangannya yang selalu mendapatkan angin sejuk, Josias menikmati waktu mandinya cukup lama. Kamar mandinya ada tepat disamping kanan tempat tidur yang berlawanan dengan jendela tanpa kaca favoritnya. Josias tidak terlalu menyukai ruangan tertutup maka dari itu kamar mandinya pun hanya dihalangi kaca yang sengaja di blur untuk menghalangi pandangan dari luar ke dalam.

Aroma apel dari sabun mandi ditambah terpaan angin sejuk yang datang diluar membuat Josias hampir saja tertidur dalam bak mandi berukuran lima kali empat meter miliknya itu. Sampai akhirnya Collin muncul di balik kaca pembatas kamar mandi, bayangannnya tinggi besar menampilkan postur tubuh pria ramping yang tegap dan kaku.

“Apa kau sengaja melakukannya?” tanya Josias dari dalam, suaranya menggema di dalam.

“Maafkan saya tapi ada hal yang harus saya segera sampaikan.” Sesal Collin, sopan.

 Josias sangat menyukai Collin jadi tidak ada alasan untuknya mengeluh karena Josias yakin tidak akan ada bawahan yang lebih setia dan patuh daripada Collin. “Katakan...” perintah Josias.

"Seratus Demon City yang anda perintahkan untuk memburu Anoushka sudah dikalahkan oleh Anoushka sendiri beberapa jam yang lalu.” Tutur Collin.

Hening terjadi beberapa saat, Collin masih berdiri dibalik kaca menunggu tuannya merespon dengan sabar. Bahkan suara riak air dari dalam kamar mandi yang sebelumnya masih bisa Collin dengar dengan jelas, sekarang benar-benar tidak terdengar dan dari dalam kamar mandi memang sudah tidak terdengar suara apa-apa lagi. “Josias...” Collin memanggilnya dengan sopan.

“Ah~ maaf,” kata Josias segera menjawab, suaranya terdengar gemetar.

“Apa lebih baik kita menyerangnya secara-“

“Diam” perintah Josias terdengar lebih tegas kali ini.

"Maaf” sesal Collin.

“Aku akui, aku memang takut padanya tapi aku bukan penakut yang tidak berpikiran jernih.” Kata Josias dengan percaya diri, mulai terdengar seperti dirinya lagi. “Kematian para Demon City itu membuktikan kalau Anoushka sudah mendapatkan kembali ingatannya dan itu artinya waktu santaiku akan sedikit berkurang.” Ujar Josias santai. “Dia benar-benar gadis menakjubkan, seandainya saja aku bertemu dengannya lebih dulu mungkin saja aku tidak akan bisa berpaling.” Lanjut Josias seakan terkenang.

* * *

Tok...tok....

Suara ketukan terdengar dari luar pintu kamar, tempat Anne beristirahat di rumah Vladimir. Tujuh jam sudah berlalu sejak kejadian di ruang rahasia Vladimir, walaupun Anne diminta beristirahat sebenarnya selama tujuh jam berada di kamar itu ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Semua gambaran ingatan itu benar-benar merembas seperti air banjir masuk ke dalam pikirannya sama seperti dengan yang dikatakan Vladimir.

“Masuklah” kata Anne yang berusaha bersandar dengan santai di tempat tidur dengan seprai warna ungu mengkilap itu.

Pintu kamar terbuka, itu Kelan. “Bagaimana tidurmu?” tanya Kelan.

“Buruk” jawab Anne parau.

Kelan melangkah masuk, menekan saklar yang ada di dinding sebelah kiri kamar. Kembali membuat kamar itu terang dan memperlihatkan interior yang tidak biasa selain kasur dengan seprai ungunya.

Didalam kamar itu terdapat dua nakas disisi kanan dan kiri tempat tidur. Cermin raksasa yang memenuhi dinding sebelah kanan kamar dan dikedua sudut kanan dan kiri cermin itu terdapat meja kosong yang mungkin diperuntukan untuk meletakan peralatan berhias atau hiasan.

Diarah yang berlawanan ada lemari dengan ukuran yang sama besarnya dengan cermin itu, hanya saja lemari itu terbagi menjadi dua bagian. Pada sisi sebelah kanan yang dekat dengan tempat tidur terdapat puluhan buku dengan sampul hardcover berwarna kelam dan pada sisi sebelah kirinya adalah lemari baju dengan pintu besi berwarna merah yang hampir mirip dengan warna seprai hanya salah lebih gelap.

Kemudian ada TV empat puluh dua inch yang sangat cocok dengan kamar tamu yang sudah seperti kamar utama itu. Anne jadi berpikir sebesar apa kamar Vladimir jika kamar tamunya saja seluas ini.

“Dia punya selera yang luar biasa,” gumam Kelan seraya berjalan perlahan mendekat pada Anne.

“Kau sendiri?” tanya Anne mendongak pada Kelan.

“Apa maksudmu?” heran Kelan.

“Maksudku, dengan Vladimir. Sejak masuk tadi pagi kau terlihat sangat tidak suka padanya” ujar Anne mencoba menjelaskan apa yang dilihatkan tadi pagi dengan benar agar Kelan tidak marah atau merasa tersinggung.

“Kurasa” jawab Kelan seadanya, terlihat lebih santai ketika ia sudah sampai pada lemari buku yang sepertinya langsung menarik perhatiannya. Ia mengambil salah satu buku dengan sampul berwarna hitam.

Lihat selengkapnya