“Nana, berikan suntikan ibuprofen pada Ibu Sarwindah di ranjang nomor empat dan balut luka Pak Wisnu yang ada di ranjang nomor dua. Cepat!” Suara Dokter Ekal memenuhi gendang telingaku.
“Baik, Dok!” kataku cepat. Aku segera melakukan perawatan pada Ibu Sarwindah dan Pak Wisnu sesuai SOP[1] Keperawatan.
Keadaan IGD[2] di Rumah Sakit Fiksi sedang sangat penuh. Banyak pasien berdatangan karena baru saja terjadi kecelakaan yang mencelakakan banyak orang. Aku mengobati orang-orang yang terluka tidak terlalu berat. Suara tangis serta rintihan kesakitan memenuhi seluruh ruangan ini. Aku menarik tirai untuk menjaga privasi pasien sebelum memberikan pertolongan. Ada luka kecil di perutnya namun tidak terlalu parah dibandingkan pasien yang lain. Hanya perlu beberapa jahitan.
“Permisi, Pak. Saya akan memulai proses menjahitnya.”
Pasien di depanku merintih kesakitan saat jarum menyentuh kulitnya. Aku mencoba menenangkannya dengan lembut. Menyuruh pasien untuk kembali tenang kalau perlu menutup mata agar tidak melihat prosesnya. Aku melakukan jahitan luka dengan cepat. Membereskan peralatanku dan menyuruh pasien kembali berbaring.
Aku menghela napas. Sangat lelah. Masih ada beberapa pasien yang membutuhkan pertolongan. Aku menyemangati diriku sendiri dan segera bergegas memberi pertolongan. Membutuhkan waktu dua jam untuk menyelesaikan semua pertolongan pada pasien yang berdatangan karena kecelakaan mobil ini.
“Na, kamu istirahat dulu sana. Kamu belum makan ‘kan? Biar kakak gantikan jaga dulu.” kata Kak Sesil. Ia perawat senior di sini dan sangat baik. Aku menghormati Kak Sesil.
Aku mengangguk. Mendengarkan Kak Sesil, tenagaku sudah mau habis karena terkuras dari tadi. Berlari ke sana kemari menangani pasien. Jangan sampai aku yang menjadi pasien di sini. Suara ambulans terdengar, aku lihat Kak Sesil berlari menuju pasien yang baru saja masuk. Aku sedikit menyingkir, memberikan ruang untuk tenaga medis lainnya lewat.
Aku lihat Dokter Ekal sedang memberikan pertolongan pertama dengan melakukan CPR[3], keadaan pasien sedang dalam keadaan cardiac arrest [4]. Aku melihat sekujur tubuh pasien yang dipenuhi luka dan juga darah. Pasti ini kecelakaan yang sangat besar. Aku berempati pada pasien tersebut.
Saat ingin melanjutkan langkahku, aku melihat seseorang yang akrab. Desna! Ia berdiri terdiam di tempat. Tatapannya kosong. Aku menghampirinya. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Ia meresponsku lama. Sedetik kemudian, ia tersenyum. “Jadi ini alasanmu.” Aku mengernyitkan kening. Tidak mengerti dengan maksudnya. Tatapanku berhenti pada lengan atas Desna yang berdarah.