Aku membuka mataku. Setelah semalaman menangisi kematian Yuta. Cowok yang menemani masa-masa sekolahku. Ia sahabat dan orang yang sangat mencintaiku melebihi almarhum orang tuaku. Yuta selalu ada untukku. Setiap saat. Meskipun aku tidak pernah menghiraukan perasaannya. Ia tetap ada di sampingku.
Bahkan, di akhir napasnya ia menyebut namaku.
Aku kembali menitikkan air mata. Memeluk diriku sendiri. Ingatan tentang Yuta yang selalu aku perlakukan jahat. Hanya karena ia jatuh cinta padaku. Aku menjauhinya. Membuang semua kenangan kami.
Aku tahu aku bodoh. Sangat bodoh. Yuta adalah sahabat terbaik untukku. Mungkin, ialah satu-satunya yang peduli padaku selama ini. Bukan Desna. Bukan Ilham. Dan bukan orang-orang munafik yang selama ini aku anggap teman. Hanya Yuta.
Pemilik nama Jepang tapi asli keturunan Indonesia. Yuta. Tanpa embel-embel nama belakang. Nama cowok itu hanya terdiri dari empat huruf. Aneh bukan. Ia cowok aneh yang aku sakiti.
Pintu kamarku diketuk seseorang. Aku terkejut. Siapa yang mengetuk? Aku tinggal sendiri di sini. Orang tuaku sudah meninggal. Ayah meninggal bahkan sebelum aku lahir dan Mama meninggal delapan tahun yang lalu. Tidak mungkin Paman berkunjung sepagi ini.
Pintu kembali diketuk. Kali ini diiringi dengan teriakan nyaring memanggil namaku. "Nana! Sampai kapan kamu mau tidur! Sudah pagi, cepat bangun!"
Hah?!
Aku beranjak dari tempat tidurku. Terjatuh di lantai karena kakiku tersangkut selimut. Aku mengusap lututku pelan lalu berdiri dengan cepat. Membukakan pintu. Tanganku bergetar. Pandanganku tertuju pada Mama yang masih mengomel karena aku baru bangun. Wajah khas setiap pagi yang sering aku temukan delapan tahun yang lalu. Wajah yang selalu aku rindukan.
"Kamu nangis lagi?! Habis berantem sama Yuta?" tanya Mama. Mama memegang pelipisnya, sepertinya pusing. "Kalian itu dari dulu sampai sekarang berantem mulu kerjaannya."
Mataku mengerjap. Tanganku terulur ke pipi Mama. Membuat Mama yang sedang menjelaskan padaku betapa baiknya Yuta terhenti. Wajah Mama masih saja kusam. Ada keriput di bawah matanya.
Mama mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu?"
Air mataku jatuh begitu saja. Ini benar-benar Mama. Aku memeluk Mama dengan erat. Kukaitkan kedua tanganku di lehernya. Ini Mama! Mama yang sudah lama tidak aku dengar omelannya. Mamaku! Aku terisak nyaring. Mama memukul punggungku membuatku menjauh. Napasnya terengah-engah sepertinya aku memeluknya terlalu erat.
"Kamu mau Mama kehabisan napas, hah?!" Mama kembali mengomel. Ia menatapku tajam.
Aku mengusap air mataku dengan punggung tangan. Tersenyum. Ini mimpi yang sangat indah, aku tidak ingin terbangun. Aku tidak ingin sendiri lagi. Aku kembali memeluk Mama, kali ini sedikit longgar. Dapat aku rasakan, lemak yang ada di perut Mama. Membuatku terasa nyaman. Mama tidak mengomeliku seperti tadi.
"Aku sayang Mama. Maaf, Nana tidak bisa jadi anak yang berbakti sama Mama. Nana akan menuruti kata-kata Mama selama Mama tidak pergi!" kataku.
Perasaanku sedikit lega. Kata-kata ini yang tidak pernah berhasil aku ucapkan pada Mama bahkan di saat napas terakhirnya. Aku menyesalinya hingga sekarang. Mengapa dulu aku sangat jahat sama Mama, aku sering membangkang pada Mama. Menyalahkan Mama karena aku tidak bisa hidup seperti anak SMA pada umumnya. Tidak bisa pergi ke tempat karaoke ataupun memakai tas mahal seperti gadis kaya lainnya. Aku sangat jahat pada Mama.