Sinar sang Surya mulai menyapa Bumi seraya memberi tahu bahwa pagi telah tiba. Daun-daun yang mengembun, merasakan kehangatan dari sinar mentari dan mulai menguap tak tampak berembun lagi. Suara burung-burung yang berkicau saling saut-menyaut membentuk melodi yang harmonis. Hembusan angin di pagi hari yang mengantarkan udara segar untuk menemani setiap hembusan nafasku.
Kakiku melangkah secara perlahan sembari menikmati karya seni ciptaan sang Khaliq yang disajikan melalui alam. Tas ransel berwarna hijau, menjadi teman berjalanku saat itu. Aku berjalan melewati rumah-rumah yang memiliki bentuk bangunan dan warna cat yang sama. Aku juga melewati kantor-kantor yang memiliki warna cat yang sama juga dengan rumah-rumah itu.
Tepat pukul enam pagi, suara terompet mulai di mainkan. Pertanda bahwa langkah ku harus berhenti sejenak sembari menatap kearah sumber suara terompet. Mungkin suara terompet ini hanya lah suara biasa, tapi bagi kami ini adalah sebuah penghormatan kepada sang saka merah putih yang akan berkibar.
Ya.... Inilah pagi hari yang harus aku lalui sebelum aku berangkat ke sekolah.
Namaku Jihan Putri Brawijaya, atau orang sering memanggil ku Jihan. Aku masih berusia 12 tahun dan juga masih duduk di bangku sekolah dasar tepatnya masih kelas 6 SD. Hari-hari ku saat akan berangkat ke sekolah, memang diawali dengan hal-hal yang seperti itu. Mungkin bukan hanya aku, tapi teman-teman yang di lingkungan sama dengan ku pasti juga merasakannya.
Hal ini bisa terjadi, karena aku hidup di lingkungan asrama para pembela negara atau sering disebut asrama Tentara. Ya.... itu benar, ayahku adalah seorang tentara pembela negara yang harus siap dimana pun dan kapanpun.
Aku berjalan menuju ke sebuah pemberhentian bus sekolah. Hal ini sudah biasa bagi kami anak-anak yang tinggal di asrama Tentara dengan deberi layanan dan fasilitas antar jemput menggunakan bus sekolah yang sudah disediakan. Layanan ini sangat membantu para anak-anak dan juga orang tua terutama seorang ayah agar bisa fokus pada pekerjaan sebagai abdi negara.
Mungkin untuk anak-anak yang lain hal ini benar-benar sangat membantu, lain halnya dengan ku. Aku memiliki pandangan yang berbeda, mungkin karena aku tidak bisa seakrab dengan ayahku seperti teman-teman ku yang lainnya. Bisa menjadi dekat dengan ayahku adalah hal tersulit untuk ku.
Ayahku bernama Anggoro Adipurwo, berkerja sebagai seorang abdi Negara dan selalu siap jika Negara membutuhkan sosok ayah dimanapun dan kapanpun. Sedangkan ibuku bernama Siti Aminah, seorang ibu persit yang siap mendampingi suami dan mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang.
Kesibukan ayahku yang menjadi seorang tentara, membuatku jarang sekali bertemu dengan ayahku. Mulai dari keseharian yang harus ke kantor maupun ketika dibutuhkan negara untuk tugas luar daerah yang hampir memakan waktu lama. Tapi untuk nya ada ibuku yang menjaga dan merawat aku dan menjadi sosok ayah ketika ayahku harus menjalankan tugas dari negara.
Selama aku masih kecil, ayahku sering melaksanakan tugas yang memang memakan waktu sangat lama. Bisa hampir dua tahun, satu tahun atau jika tugas yang diberikan terlaksana dengan cepat dan baik mungkin kurang dari satu tahun. Lamanya tugas dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dalam hal jarak tempuh antara tempat tinggal kami dengan tepat ayahku melaksanakan tugasnya, maupun keadaan medan yang ada ditepat tugas ayahku berada.
Seperti yang kita ketahui, bahwa tugas sebagai seorang abdi Negara terutama seorang tentara tidak lah mudah. Apa lagi sering diterjunkan ke situasi yang berbahaya, baik bagi Negara maupun para tentara nasional. Keluar masuk hutan, mencari jejak para penjahat, dan memasuki area berbahaya yang bisa saja membuat nyawa mereka melayang. Tapi memang inilah tugas seorang tentara, yang siap menyerahkan nyawa mereka demi keamanan Negara.
Aku teringat sewaktu aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak, ayahku meninggalkan aku dan ibuku untuk memenuhi salah satu tugas pengabdiannya kepada negara. Kurang lebih selama satu tahun aku dan ibuku tidak dapat bertemu dengan ayahku. Tentu saja rasa hawatir yang ada dalam benak ibuku dan aku pasti muncul di setiap waktu.
"Ibu kapan ayah pulang?" Tanyaku kepada ibuku.
"Sebentar lagi ayahmu pulang sayang" jawab ibuku sambil mengelus rambutku.
Saat-saat dimana seorang anak sangat merindukan sosok ayahnya untuk berada disampingnya, membuatku berinisiatif memasangkan beberapa foto milikku yang ku pasang bersama dengan foto ayahku yang berbeda dibingkai foto ruang tamu. Menatap langit melalui jendela ruang tamu yang minimalis, membuatku terus terngiang akan kepulangan ayahku.
Tok...tok...tok... "Permisi..." Suara orang asing dari balik pintu rumahku.
"Iya tunggu sebentar" segera mungkin ibuku membukakan pintu rumah.
Aku yang saat itu bergegas pergi ke kamarku dan mengintip dari balik pintu kamarku. Aku melihat orang asing itu memberikan amplop berwarna putih kepada ibuku dan kemudian orang asing itu pergi. Ibuku yang duduk di sofa ruang tamu langsung membuka isi amplop itu. Ternyata amplop itu berisi surat yang ditulis oleh ayahku tentang keadaannya selama bertugas.
Saat ibuku mulai membaca beberapa larik kata yang terdapat di dalam surat itu, aku melihat ibuku meneteskan air matanya. Meskipun aku tidak mengerti mengapa ibuku seperti itu, yang aku tau jika seseorang meneteskan air mata itu pasti antara sedih maupun senang.
Tanpa mengurangi rasa penasaranku, aku pun langsung beranjak pergi ke tempat ibuku berada.
"Surat dari ayah ya Bu..." Tanyaku dengan senyum lebar, karena itu adalah momen yang sangat membahagiakan untuk ku pada saat itu.
"Iya sayang, ayahmu baik-baik saja dan sangat merindukanmu" tangan ibu yang halus mengelus beberapa helai rambutku.
"Kenapa ibu menangis?" Tanyaku dengan rasa penasaranku.
Sambil memeluk ku dengan erat ibuku bilang "ibu tidak apa-apa, dan ayahmu baik-baik saja".
Entah memang perasaanku atau hanya tebakanku saja yang menganggap saat itu ibuku sedang berbohong kepada ku.