Aku hidup dilingkungan seorang pejuang kemerdekaan, yang mana hidupku penuh dengan didikan yang tegas, disiplin dan bertanggungjawab. Aku tinggal bersama dengan ayahku dan kakak laki-lakiku. Sedangkan ibuku sudah pergi menghadap sang ilahi terlebih dahulu. Aku diurus oleh ayahku yang berperan sebagai ayah dan ibu.
Hal ini, yang membuatku terkadang agak canggung jika dihadapkan dengan seorang perempuan. Aku tidak pernah tau apa yang harus dilakukan jika bertemu dengan seorang perempuan. Aku benar-benar laki-laki yang tidak pernah perduli dengan urusan perempuan. Hingga aku bertemu dengan istriku yang memiliki sifat kebalikan denganku. Istriku yang sangat perduli dengan orang lain mengajarkanku akan sedikit tentang kasih sayang. Sampai pda akhirnya, aku memutuskan untuk menikah dengannya.
Malam yang begitu sunyi dan senyap, dan hanya terdengar suara istriku yang kesakitan melahirkan anak kami. Aku hanya bisa menggenggam tangan istriku yang sedang berjuang demi anak kami. Lantunan doa yang selalu aku ucapkan, menjadi semangat untuk istriku agar terus berjuang.
Tak lama, suara tangisan bayi perempuan terdengar olehku. Bidan yang menangani saat itu segera mungkin membersihkan anak kami. Dalam hatiku aku berterimakasih kepada Allah karena telah menyelamatkan dua orang yang sangat aku cintai. Tangisan bahagia dan bangga akan istriku yang luar biasa.
Seorang suster membawa bayi kami yang sudah dalam keadaan bersih. Segera mungkin aku mendekatkan mulutku di telinga kanan anak perempuan ku.
"Allahu Akbar Allahu Akbar...." Suara adzan yang aku perdengarkan pertama kali kepada anakku agar nantinya selalu ingat kepada sang pencipta Allah SWT.
"Anakku aku beri nama Jihan" aku memberi nama di depan istriku yang sedang berbaring lemas di tempat tidur.
"Kenapa Jihan?" Istriku bertanya pelan dan aku hanya membalas dengan senyuman saja sambil menggendong bayi kecilku.
Setelah dua Minggu kelahiran anakku, aku sudah harus kembali bertugas untuk menjalankan perintah dari atasan demi menjaga negara ini. Aku merasa sedih dan kecewa kepada diriku sendiri, karena sebagai ayah aku belum bisa melakukan apa-apa untuk anakku yang masih bayi. Tapi aku harus selalu siap jika sewaktu-waktu negaraku memanggilku. Aku yakin anak dan istriku akan mengerti tentang apa yang aku lakukan saat ini. Mereka tidak akan cemburu pada negara ini dan justru akan bangga jika ayahnya melakukan yang terbaik demi negara ini.
Istri dan anakku yang masih bayi, mengantarku untuk melaksanakan tugasku sebagai abdi negara. Aku melihat istriku yang mulai berkaca-kaca, hanya bisa memegang pundaknya agar tidak menghawatirkan ku.
"Jangan menangis!" Aku memberi tahu istriku
"Ak...aku... Belum menangis, aku hanya bangga padamu suamiku, aku akan slalu berdoa untuk keselamatan mu" istriku yang tampak tegar sembari menggendong anak kami.
Tanpa ragu aku mencium kening istriku dan memeluk anakku untuk sekian kalinya. Karena aku tahu bahwa aku tidak akan mengetahui perkembangan anakku di saat aku berada di Medan tugas.
Truk yang akan mengantar kami sudah siap untuk berangkat. Satu persatu pasukan kami masuk ke truk yang sudah di bagi-bagi sebelumnya. Berat memang rasanya meninggalkan istri dan anak yang masih bayi. Tapi apalah dayaku, aku tetap akan memilih negaraku. Dari atas truk yang sudah mulai berjalan, aku melihat anak dan istriku yang melambaikan tangannya kepadaku. Aku mengangkat tanganku, untuk membalas lambaian dari istriku.
Sesampainya di medan tugas, kami sudah dibagi menjadi beberapa tim. Saat itu aku dan tim satu regu denganku harus keluar masuk hutan untuk menangkap beberapa orang yang akan merusak negara ini. Kami selalu memasuki bahaya tanpa rasa ragu. Jika sewaktu-waktu kami tidak selamat, kami tetap sangat bangga akan diri kami untuk selalu membela tanah air. Tapi, perasaan untuk selamat pasti ada, disaat aku memikirkan istri dan anakku dirumah. Mereka adalah motivasiku agar bisa selamat dan sukses dalam medan tugas.
Sekitar satu tahun lebih lamanya aku meninggalkan istri dan anakku. Sesampainya dirumah, aku melihat anakku yang sudah mulai tumbuh. Selama berada di rumah aku bermain dengan anakku yang masih kecil itu. Aku bersenang-senang dengan anakku, bergantian menjaga anakku dan merawat anakku disaat aku memiliki waktu luang.
Rasanya baru saja anakku belum bisa apa-apa, kini anakku mulai bisa berjalan dan sudah bisa mengatakan sesuatu. Setidaknya aku masih diberi kesempatan oleh Allah untuk melihat tumbuh kembang anakku. Dalam setiap ibadahku, aku selalu berdoa agar anakku kelak menjadi orang yang Solehah, berbakti kepada orang tua dan selalu setia kepada negara.
Tahun berganti tahun telah berlalu, anakku kini sudah masuk sekolah taman kanak-kanak. Aku yang sangat ingin melihatnya memiliki teman dan bermain bersamanya hanya bisa membayangkannya saja. Karena untuk awal pertama ia sekolah aku tidak bisa menemaninya. Lagi dan lagi, harus meninggalkan istri dan anak, negara membutuhkanku lagi untuk menjaga tanah air ini.
"Ayah harus cepat pulang" Jihan mengatakannya sembari berada dalam gendonganku.
"Doa kan ayah ya...." Sambil menatap wajah kecil anakku yang mengangguk-anggukan kepalanya tanda ia setuju.
Aku pun pergi meninggalkan mereka bersama dengan teman-teman seperjuanganku. Dengan tanpa patah semangat, kami menyanyikan lagu kebangsaan kami dan saling merangkul satu sama yang lain agar bisa kembali pulang dengan selamat.
Sesampainya di medan tugas, kami diberi bagi menjadi beberapa tim lagi untuk siap melakukan beberapa strategi selama melaksanakan tugas. Semangat kami yang membara membuat kami terus berjalan tanpa henti untuk menyusuri hutan-hutan yang mana hutan ini sebagai tempat persembunyian orang-orang jahat.
Satu persatu tugas yang diberikan pun mulai terselesaikan dengan baik. Tibalah saat-saat akan kembali dan bertemu dengan keluarga kecilku dirumah. Kami bersama-sama menaiki truk yang sudah disediakan untuk kami kembali ke kota. Namun sesaat kami akan kembali ke kota, tiba-tiba truk yang ada di depan kami menginjak salah satu ranjau yang dlsudah dipasang oleh para penjahat untuk membunuhkami.
Truk yang ada di depan kami pun terguling beserta para pasukan yang ada di dalamny. Begitu juga dengan truk yang mengangkut kami juga ikut terguling akibat menabrak bagian belakang truk yang di depan. Kami bergegas menyiapkan senjata kami dalam keadaan siap menembak kearah musuh kami. Kontak tembak dari atas bukit mulai terdengar, dengan sergap kami mengarahkan senjata ke arah bukit dan mencari tempat aman untuk perlindungan.
Disaat salah satu temanku akan mulai menyerang maju, tiba-tiba saja peluru menghantam pohon disebelah kami. Kami segera meninggalkan tempat kami dan mencari tempat aman yang lain. Disini kontak tembak tidak berhenti-henti, hingga pada saat itu kesalahan temanku membuatku harus rela tertembak di bagian kakiku. Sempat aku berfikir, mungkin aku tidak akan selamat. Tapi perasaanku untuk keluarga kecilku yang menunggu dirumah, membuatku bangkit dan terus melanjutkan serangan. Hingga akhirnya kamipun memenangkan pertempuran ini.
Sakit yang aku rasakan tidak seberapa, dibandingkan dengan keberhasil yang kami capai. Kemenangan yang kami dapat akan menjadi cerita yang menarik untuk di ceritakan ke keluarga kecil kami. Namun, luka di kakiku harus segera ditangani oleh tim dokter. Aku saat itu masih berjalan dengan tergopoh-gopoh, tidak berani menunjukan keadaanku didepan istri dan anakku. Hal inilah yang membuatku memutuskan untuk tetap di rumah sakit hingga pulih. Aku tidak mau jika istri dan anakku menjadi sangat khawatir akan keadaanku.
Alasan keterlambatanku ini ternyata didengar oleh istriku. Aku meminta kepada istriku untuk tidak menceritakan kepada Jihan. Jihan masih kecil, aku takut jika nantinya dia trauma dengan apa yang terjadi pada ayahnya.
Setelah dirasa semuanya pulih, aku kembali ke rumah dengan melihat keluarga kecilku. Mereka memberiku pelukan hangat akan kerinduannya denganku. Aku pun juga melakukan hal yang sama, meski menahan sedikit rasa sakit ini.