Aku memutuskan untuk sementara tidak berangkat ke sekolah, karena aku tahu pasti ayahku akan mencariku di sana. Aku membantu nenek Firda berjualan di pasar. Semua barang-barang yang berat adalah bagianku. Hal ini aku lakukan kurang lebih hampir tiga hari lamanya. Aku sangat nyaman dengan nenek Firda sampai aku lupa tentang permasalahan yang terjadi antara aku dan ayah. Hingga saat malam hari kami akan kembali ke rumah Firda, di perjalanan ada beberapa orang asing yang menghadang jalan kami.
"Nek, jatah sini..." Orang itu memalak kami dengan pakaian ala preman.
"Maaf anda itu siapa ya? Datang-datang langsung minta uang" sembari aku memegang tangan keriput nenek.
"He... Gadis kecil, itu bukan urusanmu, tapi kalau kamu ikut campur ya...hahaha...." Salah seorang yang berpakaian sama, dan memiliki tato di tangannya.
Entah bagaimana tubuhku bergerak dan memasang kuda-kuda, seperti siap untuk berkelahi. Aku memang bukan ahli dalam berkelahi, tapi ayahku mengajariku beberapa teknik kelahi disaat aku masih kecil. Teknik ini aku hafalkan jika sewaktu-waktu aku mengalami kejadian seperti saat ini.
"He, cewek kamu mau kelahi? Gak bakal mampu, hahaha....." Ketawa jahat mereka yang mulai terdengar.
Saat itu, salah satu teman mereka mendekatiku dan menggodaku. Gerakan respekku yang siap memukul mengenai wajah jelek itu.
"Wah ni cewek berani juga ya, ayo kita keroyok biar tau dia sedang berhadapan dengan siapa" orang itu memegangi wajah yang terkena pukulanku.
Saat orang asing itu akan memukulku, tiba-tiba dari kejauhan nampak orang yang mengenakan baju rapi. Laki-laki itu langsung menghajar orang asing itu dengan mudah. Pukul demi pukulan dia ayunkan ke arah orang jahat dengan gagah. Teknik bertarung nya luar biasa, seakan memberikan tanda bahwa dia sudah ahli dalam masalah bertarung. Tak lama kemudian para orang jahat itu lari terbirit-birit.
"Terimakasih banyak pak, atas bantuannya" aku mengatakannya dengan rasa syukur.
"Tidak masalah..." laki-laki itu menjawab dengan santai.
Tetapi, setelah aku perhatikan orang ini seperti tidak asing bagiku. Aku terus menatap dengan seksama. Karena saat itu malam hari, maka penglihatanku tidak terlalu jelas untuk melihat dengan baik. Sekali lagi memperhatikannya dan mengingat-ingat dimana dan kapan aku pernah bertemu.
"Apa yang kamu perhatikan?" orang itu bertanya kepadaku.
Aku yang terkejut langsung membuang pandanganku kearah lain "sepertinya bapak, yang pernah ada di warung nenek?" sepintas aku ingat dimana aku pernah bertemu dengan orang ini.
"Iya, tapi aku masih penasaran bagaimana kamu bisa memiliki teknik dasar berkelahi?" sambil merapikan bajunya.
"Saya belajar sedikit dengan ayah saya, ayah yang mengajarkan teknik ini kepadaku" kelasku.
"Memangnya ayah kamu pekerjaannya apa?" tanya orang itu dengan senyum yang mengejek.
"Ayah saya seorang abdi negara atau tentara" kelasku dengan sedikit agak sombong.
"Benarkah? jangan berbohong, aku punya banyak teman tentara tau" lagi-lagi bapak itu mengejek ku dengan senyumnya itu.
"Maaf, saya tidak berbohong. Ayah saya seorang tentara dan banyak tentara yang mengenali ayah saya" aku memberi penjelasan dengan sedikit emosi.
"Baiklah, katakan siapa namanya? aku banyak mengenal tentara, karena teman-temanku banyak juga yang jadi tentara" bapak itu mulai mengatakannya dengan sombong sambil melipat kedua tangannya.
"Ayah saya bernama Sersan Anggoro Adipurwo" jawabku dengan sombong.
Saat aku mengatakan nama ayahku, bapak itu terlihat seperti terkejut. Semuanya bisa terlihat, mulai dari tangannya yang tiba-tiba lepas dari lipatannya dan tidak berekspresi sama sekali. Bapak itu hanya diam terpaku, seperti layaknya patung. Tak lama bapak itu diam, dia melihatku dengan seksama.
"Kamu...Jihan?" tanya bapak itu dan membuatku terkejut.
"Bagaimana bapak bisa tahu nama saya?" tanyaku penasaran.
"Anggoro adalah teman waktu kecilku, kami dibesarkan di lingkungan keluarga tentara. Tapi bedanya bapaknya atau kakekmu lebih tepatnya, sangat keras saat mendidik ayahmu. Mungkin karena, ibunya ayahmu meninggal terlebih dahulu" bapak itu menjawab sambil mengingat masa lalunya.
"Apalagi kalau Anggoro di hukum bapaknya, hukuman yang diberikan seperti layaknya seorang militer" lanjut bapak itu.
Kami yanhasih berdiri di pinggir jalan, sambil mendengarkan cerita dari bapak itu. Aku juga hanya diam sambil membawa peralatan dagang milik nenek. Saat mendengar cerita bapak itu, setidaknya aku mengerti kenapa ayah mendidik ku dengan keras. Hal ini dikarenakan kakekku yang juga keras saat mendidik ayahku.
"Sekarang ceritanya sudah selesai, jadi...." sambil mengatannya bapak itu memegang bahuku. "Pulanglah! Ayahmu menunggu mu di rumah sakit".
Aku terkejut mendengarnya "Ke....ke...kenapa?" suaraku mulai gugup.
"Saat mencari mu, ayahmu kelelahan dan membuat kaki yang dulu pernah tertembak, menjadi sakit lagi. Saat itu, ayahmu tidak bisa menjaga keseimbangan motornya dan membuatnya mengalami kecelakaan" jelas bapak itu.
Aku yang diam terpaku mendengar apa yang dikatakan bapak berpakaian rapi. Aku tidak bisa membendung air mataku yang jatuh di pipiku. Meskipun aku membeci ayahku, namun rasa benci ini tidak bisa mengalahkan rasa sayangku kepada ayahku. Aku yang tidak tau harus berbuat apa, belaian tangan nenek di lenganku membuatku tergerak untuk menghadap kearahnya.
"Cepet mbak pergi ke rumah sakit, biar ini semuane nenek yang urus" nenek meyakinkanku untuk tidak terlalu mengkhawatirkannya
Tanpa menjawab aku mengangguka kepalaku, aku yang sangat berterima kasih kepada nenek. Meski tidak melalui kata-kata, nenek memahami apa yang aku maksud hanya dengan melihat gerak-gerik ku.
"Ayo bapak temani ke rumah sakit, pakai mobil bapak" sambil memegang kunci mobil dan mengarahkannya ke mobil milik bapak itu.