"Sendirian aja, Nun?" Alif menyapa saat kami pulang dari masjid selepas salat subuh.
"Iya, Lif, biasanya sama nenek. Beliau sedang kurang enak badan."
"Em, gitu. Sakit apa, nenek?"
"Gak apa-apa. Biasa penyakit tua, gampang capek."
Kami saling melempar senyum. Sungguh tenteram melihat Alif memakai baju koko dan sarung. Mungkin sempat mendekam di penjara membuatnya berubah.
"Tentang kasus itu, apakah semua berjalan lancar?"
"Alhamdulillah, Nurma menceritakan dengan sebenarnya. Tentang Alif mengantar ke dokter dan perbuatan tidak senonoh Iwan. Itu jebakan buat Alif, Nun! Tapi syukurlah semua berjalan lancar."
"Maaf, Lif, aku tidak bisa menemanimu pada masa sulit." Kutundukkan kepala, teringat mata sayu Alif terakhir kali.
"Gak masalah kok, Nun, semua sudah berlalu." Alif terlihat santai.
Tak terasa kami sudah sampai di depan rumah nenek. Aku melihat terlalu banyak perubahan dalam diri Alif. Dia sekarang lebih banyak diam. Cara bicaranya juga aneh, masak dia menyebut nama sendiri.
Aku merasa dia bukan Alif atau mungkin perasaan Alif sudah berubah sehingga sikapnya padaku pun berubah. Mungkin benar waktu itu hanya cinta monyet.
"Ham, ke pasar, yok!"
Aku yang belum masuk ke rumah, jelas mendengarnya. Faris memanggilnya Ham bukan Alif. Dulu ibunya juga memanggilnya Ham. Apa mungkin dia memang bukan Alif? Akan tetapi wajahnya sangat mirip, dia pun tak keberatan kupanggil Alif. Apa saudara kembar Alif? Tunggu, dulu nama Alif kan memang Alif Ilhamzah, jadi wajar orang lain memanggilnya Ham atau Hamzah.
"Sedang apa kamu, Nun? Cepat pergi ke pasar!" Nenek menegurku.
"Lho, Nenek kan sakit, masak tetep jualan ke pasar?"
"Lha, emang kalau gak jualan gak boleh ke pasar?"
"Ya gak gitu, tapi kan nenek sakit."
"Nenek gak ke pasar. Kamu aja yang ke pasar! Beli bumbu-bumbu. Sudah mau habis simpanan kita."
"Iya Nek, Innun ganti baju dulu."
Saat aku keluar rumah berpapasan dengan Alif dan Faris di halaman rumah nenek.
"Eh, ada apa?"
"Kami mau ke pasar, beli apa aja yang dibutuhkan, tapi gak tahu jalannya."
"Ya udah sekalian barengan aja! Aku juga mau ke pasar."
Kami berjalan beriringan bertiga, aku berada di sisi paling kiri. Faris yang tadinya paling kanan pindah ke tengah.
"Jadi Hamzah dan Ainnun udah saling kenal, to?" Faris bertanya di tengah obrolan.
"Iya dulu aku tinggal di kota. Lulus sekolah aku ikut nenek di sini."
"Oala, kirain pernah ada hubungan gitu."
Aku berharap Alif menjawab kalau kami pernah ada rasa. Namun tidak, dia memilih diam dan hanya tersenyum.
"Kesibukanmu sekarang apa, Nun?" Alif bertanya, panggilan Nun itu sama sekali tidak enak di dengar jika keluar dari mulut Alif.
"Aku kuliah, sambil ngajar PAUD di desa ini."
"Wah jadi guru, ya?" Faris menyahut.
"Ya, begitulah!"