Assalamualaikum Ai,
Maaf jika sampai hari ini aku belum bisa datang membawa orang tuaku.
Tapi percayalah aku tengah berusaha dan berjuang membuat diriku pantas bersanding denganmu.
Berikan aku waktu hingga akhir tahun ini.
Aku janji akan datang meminangmu.
Salam Alif
Pesan itu kuterima setahun yang lalu, tepat dus tahun setelah aku mendapat gelar sarjana. Pesan itu pula yang membuatku beberapa kali menolak pinangan pemuda-pemuda kaya pilihan Ibu.
"Sampai kapan mau nunggu anak gak jelas kayak gitu?"
"Ainnun yakin, Bu! Alif pasti datang."
"Biarin to, Bu, jangan paksakan kehendak anakmu, ini jaman sudah berbeda. Gak ada perjodohan, biar dia memilih sendiri pendampingnya." Bapak membelaku.
"Pokoknya genap 25 tahun umurmu kamu harus nikah. Gak ada tunggu menunggu lagi. Ibu dan Bapak sudah tua, sudah ingin menimang cucu." Ibu mulai mengomel.
Dulu ada nenek yang akan membela, semenjak nenek meninggal hanya Bapak harapanku. Untungnya Bapak mengerti perasaan anaknya ini. Apalagi melihat sikap Alif terakhir kali. Bapak terlihat yakin Alif imam yang pantas untukku.
Sore itu sebuah mobil sedan putih berhenti di depan rumah. Sepasang orang tua paruh baya turun dari mobil. Jantungku berdetak kencang saat aku mengenali sang perempuan yang tidak lain dan tidak bukan ibunya Alif. Aku ingat betul wajahnya walaupun hanya sekali bertemu di pasar.
Ibu menyambut mereka, Bapak juga ikut menemani. Aku datang membawa minuman dan sepiring biskuit.
"Jadi ini, Ainnun?" Bapaknya Alif bertanya. Aku mengangguk malu.
"Benar saja Alif tak mau pilih wanita lain, cantik begini."
"Mamakan sudah bilang Pa, Ainnun itu cantik, Mama pernah ketemu sekali dengannya."
Semua tersenyum dan tertawa, hanya aku yang bisa menduduk dengan pipi merah.
"Gini, Nduk, ini orang tuanya Alif mau melamarmu. Gimana kamu mau?"
Aku masih menunduk, ingin segera mengangguk tetapi takut diketawain. Aku hanya tersenyum malu.
"Lha, sekarang malu-malu, padahal kabar ini yang sejak lama kamu tunggu." Ibuku ikut menggoda, sepertinya ibu juga menyukai keluarga Alif.
"Ainnun manut Bapak saja."
"Lho, kalau Bapak tolak gimana?"
"Ish, Bapak—" Aku memandang Bapak malu, kemudian segera meninggalkan ruang tamu. Suara tawa terdengar dari kedua calon besan.
Obrolan selanjutnya adalah segala sesuatu yang harus dipersiapkan sebelum pernikahan. Mereka sepakat tak perlu tunangan, langsung menikah saja. Resepsi akan diadakan di kota, tetapi akad nikah di rumahku. Persiapan sebelum pernikahan membuatku sangat sibuk.
Hari itu aku akan mengurus berkas pernikahan dengan Alif. Dia akan datang menjemput. Aku menunggunya di kelurahan. Tak lama sebuah mobil Jeep berhenti di halaman kelurahan. Pemuda berbadan tinggi dan tegap turun dari mobil.
Celana jeans dan kaos sport yang dipakainya menunjukkan bahwa dia rajin berolahraga. 'Tampan sih, tapi maaf hatiku sudah dicuri Alif' batinku.
Langkah pemuda itu semakin mendekat. Aku pura-pura tak peduli. Aku tak mau ke ge-eran. Siapa tahu hanya numpang tanya.
"Maaf menunggu lama, Ai," sapa pemuda itu padaku.
Ai? Dia memanggilku Ai? Siapa dia? Kenapa lancang dan sok akrab sekali?