"Masih ingin bertemu Hamzah?" Alif bertanya saat kami pulang dari masjid selepas salat Isya'.
"Kamu tahu Hamzah di mana?"
Alif menghentikan langkahnya, memandangku penuh selidik dengan sorot mata tajam. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?
"Emm maksudku, kata Mama, Hamzah diusir dari rumah. Harusnya kamu tak tahu dia di mana kan?"
"Papa yang ngusir, tapi aku gak!" Alif kembali melangkah pergi, meninggalkan aku di belakang.
"Ya! Aku ingin bertemu Hamzah." Aku berlari mengejarnya.
Alif kembali menghentikan langkahnya. Tatapan mata itu terlihat menyiratkan rasa kecewa.
"Besok pagi akan kubuat janji bertemu dengan Hamzah, jangan katakan apa pun pada Mama maupun Papa." Alif kembali berjalan lebih cepat.
Apa aku salah jika ingin bertemu dengan Hamzah? Apa dia cemburu? Dia kan bisa saja melarangku, kalau boleh ketemu kenapa mesti cemburu? Aneh!
Pagi itu kami sarapan bersama, sesekali Papa dan Mama menggodaku dan Alif. Tanpa mereka tahu dua malam ini kami tak tidur seranjang, bicara pun jarang.
"Papa ini sudah tua, jangan ditunda lagi. Sudah rindu tawa anak kecil di rumah ini."
Aku menelan ludah tak sanggup menjawab. Alif pun diam tanpa ekspresi.
"Papa ini! Biarkan mereka pacaran halal dulu. Mereka kan belum sempat pacaran. Ya kan Nun?" Ucapan Mama seperti membela kami, tetapi terasa semakin memojokkan. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
Selesai sarapan, Alif berpamitan mengajakku jalan-jalan. Aku ikut saja, jujur tak sabar bertemu Hamzah.
Alif membawaku ke sebuah mal terbesar di kota ini. Sesekali Alif memiringkan tubuhnya seolah berusaha melindungiku dari keramaian pengunjung. Kami masuk dan duduk di area food court.
Alif memesan minuman. Tak berapa lama, sosok yang muncul dalam mimpiku datang. Jantungku berdegup kencang. Dialah pria yang kucintai.
"Hai, Lif, lama menunggu?"
"Gak kok, Ham, kami baru sampai."
"Hai Nun, selamat ya? Akhirnya kalian bisa bersatu dalam ikatan suci." Hamzah menyapa. Kalimatnya seolah menunjukkan dan mengingatkan aku akan status kami. Sama-sama telah menikah.
Aku tak tahu perasaan apa ini? Namun, aku senang melihat wajah teduh dan senyum manis Hamzah. Rindu yang terpendam terobati. Aku tersenyum dengan pelupuk mata yang mengembun.
"Kalian bicaralah sebentar! Aku ke toilet." Alif meninggalkanku berdua dengan Hamzah. Aku berusaha menguasai perasaan.
"Lama tak bertemu, Ham?"
"Iya, terakhir waktu aku KKN di desamu ya, Nun? Gimana kabar Mak Darti?"
"Anaknya yang TKW sudah pulang, jadi rumahnya tak sepi lagi."
"Syukurlah! Kasihan aja kalau lihat orang yang lanjut usia harus hidup sendiri, kan?"
"Iya, sayangnya terkadang kita tak bisa membantu apa-apa, Ham."
"Siapa bilang? Kita bisa bantu doa, kok!"
"Iya, ya, bener juga."
Kami mengobrol ringan, rasanya obrolan terus mengalir. Dua bulan bersama, membuat aku dan Hamzah kerap bekerja sama dalam setiap kegiatan. Hamzah yang memang peduli dengan semua orang di sekitarnya cepat akrab dengan warga sekitar. Itulah sebabnya saat kami bertemu kembali, banyak hal yang bisa kamu bicarakan. Berbeda dengan Alif, aku merasa dia orang asing. Mungkin itulah yang mengganjal di hatiku.
"Oh, ya Ham? Aku baru tahu loh kalau kamu dan Alif saudara kembar."
"Oh, ya? Memangnya Alif gak pernah cerita?" Hamzah tampak terkejut mendengar pernyataanku. Aku jawab hanya dengan menggelengkan kepala.
"Dasar Alif! Padahal aku sudah cerita sama dia waktu kita bertemu di pasar dan kamu salah mengira aku Alif."