Antara Alif dan Hamzah

Imroatul Mufidah
Chapter #9

Chapter 9

"Ai!" 

Alif memanggil, jantungku berhenti berdetak setiap kali dia menyebut namaku. Aku menoleh ke arahnya setelah mengatur napasku.

"Hamzah ada seminar di luar kota selama tiga hari, jika kamu tak keberatan, maukah kamu menemani Nurma?"

Aku berpikir sejenak, hubungan keluarga ini dengan Hamzah tengah renggang. Apa yang akan kukatakan pada Mama dan Papa.

"Sebenarnya Hamzah ingin aku dan kamu sering mengunjungi Nurma, memastikan keadaannya dan membantu melakukan pekerjaan berat. Tapi mengingat kandungan Nurma yang makin membesar, dan khawatir saat tengah malam dia mengalami kontraksi, kupikir lebih baik kita tinggal di sana selama Hamzah tak ada,” lanjutnya.

"Apa yang akan kita katakan pada Mama dan Papa?"

"Kita bilang saja liburan. Tak perlu bilang liburan ke mana kan? Anggap saja kita memang liburan. Jadi kita gak bohongkan?"

"Terserah kamu saja! Aku senang jika bisa membantu orang lain."

Alif tersenyum, aku melanjutkan pekerjaan. Meski ada pembantu, aku tetap mengurus pakaianku sendiri. Tak mau hanya berpangku tangan. Lagi pula aku sudah terbiasa. Sebenarnya aku sudah mengirim lamaran pekerjaan di beberapa sekolah TK dan PAUD, tetapi belum ada panggilan. 

Jadilah kami pergi ke rumah Hamzah. Kontrakan kecil dengan dua kamar tidur di dalamnya, juga dapur, kamar mandi dan ruang tamu. Namun, semua barang tertata rapi.

Nurma gadis yang ramah dan mudah bergaul. Banyak bicara dan tidak mau diam. Aku yang baru mengenalnya langsung akrab. 

Pagi itu Alif pergi lari pagi, aku memasak dan Nurma membantu. Lalu aku bertanya untuk membuka obrolan, "Jadi kamu dan Hamzah sudah lama pacaran, Nur?"

"Gak tahu ya, apa namanya? Kami pikir hanya sekedar teman akrab, tapi pas aku dikirim ke pesantren, ada rasa rindu dan kehilangan jauh dari Hamzah. Aku bahkan tak menyangka dia rela menentang keluarganya demi diriku." 

"Kenapa kalian terburu-buru menikah? Bukankah harusnya melakukan pendekatan dulu pada Papa dan Mama?" Aku dekati Nurma yang sedang memotong sayuran. Sementara aku mengupas bawang di sampingnya.

"Dua orang lawan jenis tak mungkin tinggal bersama, kan? Semua berawal dari kasus itu, Nun." Nurma tampak sedih mengingat kejadian waktu itu. 

"Ceritakan saja, biar kamu lega!" Mungkin kalimatku terdengar menghibur, sejujurnya aku yang hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Ayahku meninggal karena penyakit jantung. Kami juga jatuh miskin karena tabungan Bunda habis untuk biaya rumah sakit ayah. Di tengah kesulitan membayar hutang, Bapak muncul membantu. Banyaknya hutang budi yang ditanggung Bunda, membuat Bapak menikahi Bunda. Tapi Bunda tidak tahu jika anak tirinya kerap menggangguku.

Sampai hari itu terjadi, saat aku bangun dari keadaan kritis, kuceritakan semua yang terjadi. Bapak dan Bunda merasa malu. Bunda ingin mencabut tuntutannya, tapi Bapak menolak. Bapak tidak mau anaknya yang meninggal harus tercoreng pula namanya. Bapak memintaku memberi kesaksian palsu. Bapak mengancam akan mengusirku dari rumah jika aku tak menurut. Bunda takut jika Bapak benar mengusirku, Bunda pun meminta aku berbohong.

Sampai waktu sidang aku bertemu Hamzah. Aku dilema, di sana Hamzah memohon agar aku jujur. Hamzah bilang aku tak perlu takut dengan ancaman Bapak, yang harus kutakutkan adalah dosa yang kutanggung. Fitnah lebih kejam dari pembunuhan, kan? Hamzah janji jika Bapak sampai mengusirku, Hamzah akan melindungiku. Hamzah berjanji akan menikahiku. Akhirnya aku memberi kesaksian sejujurnya.

Yang kutakutkan terjadi, aku diusir dari rumah. Aku meminta bantuan Hamzah, aku tak punya siapa-siapa lagi selain dia. Keluarganya mengirimku kembali ke pesantren, di sanalah aku akan aman. Seluruh biaya ditanggung oleh keluarga Hamzah. 

Saat gelar sarjana sudah Hamzah dapatkan, Hamzah menyampaikan niatnya menikahiku pada Papa. Saat itulah Papa murka. Papa sangat marah, Papa mengusirku, beliau menganggap aku tak tahu diri, aku pun pergi menjauh. Tapi Hamzah juga tak mau mengalah. Hamzah tetap menikahiku dan pergi dari rumahnya. Sampai hari ini aku sering merasa bersalah dengan semua yang terjadi."

Oh Tuhan! Sebegitu besarnya kah cinta Hamzah pada Nurma? Betapa beruntungnya dirimu Nur? Aku benar-benar merasa iri padanya.

Lihat selengkapnya