Antara Alif dan Hamzah

Imroatul Mufidah
Chapter #10

Chapter 10

Alif mengajakku ke sebuah hotel di pinggiran kota. Daerah pegunungan yang indah dengan udara yang dingin. Mengingat cukup larut malam kami sampai di sana.

"Wah, Mas dokter! Akhirnya diambil juga paket honeymoon-nya." Sang resepsionis menggoda Alif. Yang digoda tersenyum tipis.

Dasar ganjen, masak manggil Mas dokter? Cemburu? Bukan! Gak suka aja lihat cewek centil.

Seorang bell boy mengantar kami ke kamar yang sudah di booking Alif. Kamarnya sangat besar dan indah. Ruangannya dilengkapi dengan double bed dan minibar. Dihias dengan sangat indah. Persis seperti kamar pengantin. Aku terkesima melihat pemandangan dari jendela kamar.

Alif ke kamar mandi, dia mengganti bajunya dan bersiap tidur di sofa.

"Tidurlah diranjang, Lif! Ranjangnya terlalu besar untukku sendiri." Entah apa yang membuatku berani berkata seperti itu.

"Yakin?" Alif seolah tidak percaya.

Aku terdiam sejenak, tak mungkin menarik kata-kataku. Ingin berkata iya, tapi bibir terasa kelu. Akhirnya hanya mengangguk. Alif segera membaringkan tubuhnya di ranjang. Mungkin dia terlalu lelah.

Aku ke kamar mandi dan mengganti baju. Lalu aku berjalan mendekati ranjang. Perlahan aku merebahkan tubuh, tak ingin membuatnya terganggu. Kupandangi pria yang hampir seminggu menghalalkanku itu. Benarkah pria ini yang kucintai? Aku terus memandangnya hingga terlelap ke alam mimpi.

Suara azan membangunkan aku dari tidur. Perlahan kubuka mata dan terkesima melihat pemandangan yang terjadi. Alif berada begitu dekat. Jantungku berdebar, aliran darah terasa panas. Tiba-tiba hawa dingin menyergap membuatku hampir menggigil. Kututup mulut agar tak menimbulkan suara. Namun, gerakan tanganku membuat Alif terbangun.

"Maaf, Ai! Aku tidak sadar." Alif gelagapan segera menjauh.

Aku diam dan hanya mengangguk. Perlahan berusaha menguasai perasaanku. Alif ke kamar mandi, lalu keluar dengan rambut basah. Aku suka memandangnya saat dia selesai mandi.

"Kamu sudah salat, Ai?” tanya Alif.

Aku hanya menggeleng belum berani bicara, takut suaraku bergetar.

"Mau jamaah?"

Aku tersenyum dan mengangguk, bukankah jamaah pahalanya lebih besar? Aku bergegas ke kamar mandi. Alif sudah duduk menunggu, sepertinya baru selesai salat sunah. Kugelar sajadah satu langkah di belakangnya.

"Sudah siap, Ai?"

Aku tersenyum dan mengangguk. Alif bangkit dan mulai membaca niat.

"Allahuaniat."

Mendengar suara takbir dari mulutnya aku terkesima, merdu dan indah. Nadanya terdengar berbeda, sangat fasih.

"Bismillaahir-raḥmaanir-raḥiim,

al-ḥamdu lillaahi rabbil-'aalamiin,

ar-raḥmaanir-raḥiim,

maaliki yaumid-diin,

iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin,

ihdinaṣ-ṣiraaṭal-mustaqiim,

ṣiraaṭallażiina an'amta 'alaihim gairil-magḍụbi 'alaihim wa laḍ-ḍaalliin—“

Suara Alif sangat merdu, anggap saja salatku tidak khusuk karena terkesima dengan suaranya. Jika dibandingkan dengan Hamzah, suara Alif lebih indah.

Selepas salat subuh, Alif mengajakku jalan-jalan di sekeliling hotel. Pemandangan lereng gunung dan matahari pagi yang baru terbit membuat suasana menjadi romantis.

"Lif, kemarin aku sempat memasukkan lamaran di beberapa sekolah, jika lamaranku diterima, apa boleh aku bekerja?"

"Kalau memang memiliki ilmu untuk dibagi kenapa tidak, Ai? Terserah kamu mau apa aja, silakan!"

Sikap Alif menjadi dingin. Mungkin juga salahku yang sempat mengabaikan atau terlalu membandingkannya dengan Hamzah sebagai pria ramah dan mudah bergaul. Kami melanjutkan jalan-jalan pagi. Perasaan canggung kembali menyergap. Aku merasa tidak nyaman.

"Lif, siang ini kita balik ke rumah ya?"

Lihat selengkapnya