Aku, Papa dan Mama langsung meluncur menuju rumah sakit menyusul Alif. Nurma sudah dibawa ke ruang operasi. Melihat kedatangan kami Hamzah beranjak dari tempatnya, berdiri dengan wajah takut dan cemas. Tangan dan bajunya tampak berdarah.
Papa dan Hamzah saling berhadapan, suasana sangat tegang. Mama menyentuh lengan Papa, tetapi ia mengelak.
"Kenapa tak kau jaga baik-baik cucu dan menantu Papa, Ham?"
Pertanyaan dengan nada marah tapi penuh kasih sayang itu membuat Hamzah meneteskan air mata dan memeluk Papa. Suasana haru di saat yang tidak tepat.
Hamzah menangis hingga sesenggukan. Inilah perbedaan Hamzah dan Alif. Jika Alif pria yang tegar dan cuek, maka Hamzah pria yang lembut dan penuh perhatian. Sayangnya dulu aku tak menyadari perbedaan ini lebih awal. Jika aku tahu tentu aku tak mengalami dilema.
"Ham, masuklah denganku!" Alif mengajak Hamzah masuk ruang operasi. Mama menahan tangan Alif.
"Ada apa, Lif?"
Alif menatapku, lalu menoleh ke arah Mama. Suamiku itu menggelengkan kepala putus asa. Mungkin maksudnya tidak ada harapan lagi.
Mendapat jawaban dari putranya Mama jatuh terduduk, aku memeluknya erat. Dalam hati kami masih berharap ada keajaiban.
"Ya Allah selamatkan cucu dan menantu kami." Papa menunduk lemas, tangannya menangkup seolah tengah berdoa.
Beberapa menit kemudian Hamzah keluar. Kepalanya tertunduk lesu. Matanya merah menyala, pipinya basah oleh air mata.
"Bagaimana keadaan Nurma, Ham?" Papa bertanya, Hamzah menggeleng lalu menangis dalam pelukan Mama.
"Innalillahi wainnalillahi roji'un." Suara Mama terdengar lirih dengan bibir bergetar.
Aku terduduk lemas. Nurma telah tiada, dia pergi sebelum sempat merasakan kasih sayang mertua. Dia pergi sebelum sempat menyusui anaknya. Itulah perjuangan seorang ibu, terkadang nyawanya harus ditukar demi kehidupan bayinya.
Alif keluar dari ruangan membawa bayi kecil yang masih merah. Aku berjalan mendekatinya. Bayi kecil itu menangis, mungkin dia tahu tak akan lagi merasakan pelukan ibunya.
Alif menatapku, aku juga membalasnya. Seolah hati kami saling berbicara. Lalu Alif memberikan bayi itu padaku. Aku merasa punya ikatan dengan bayi itu.
"Perempuan," bisik Alif. Aku memandang dan tersenyum padanya.
"Nurma, kamu terlahir kembali rupanya,” ucapku.
"Haruskah kita memanggilnya Nurma?" Alif mengusap lembut gadis kecil dalam gendonganku.
"Habibah, Nurma bilang namanya Habibah." Hamzah berkata dan segera mengambil bayi itu dari gendonganku. Mendekap erat bayinya yang kini menjadi piatu.
Sebulan berlalu tetapi suasana duka di rumah masih sangat terasa. Ya! Sebagai tanda diterima sebagai menantu, jenazah Nurma dibawa ke rumah kami. Dimandikan dan disalatkan semua dilakukan di rumah kami. Hamzah dan Habibah juga diboyong ke rumah.
Pagi itu Hamzah menggendong Habibah di teras rumah. Aku menghampirinya membawa susu untuk Habibah.
"Habibah menangis kenapa kau biarkan, Ham? Coba dilihat siapa tahu dia haus atau ngompol. Kan kasihan dianya gak nyaman." Aku mengomel, dan mengambil Habibah dari gendongan ayahnya.
Aku duduk di depan Hamzah, kuberikan susu pada gadis kecil nan cantik itu.
"Seandainya Nurma masih hidup, pasti dia akan mengomel sepertimu, Nun!"
Aku memandang Hamzah cepat. Nun? Ya! Sekarang aku ingat, Alif selalu memanggilku Ai, tetapi terkadang dia juga memanggilku Nun. Jadi sebenarnya yang memanggilku Nun adalah Hamzah bukan Alif. Aku mulai semakin sadar perbedaan mereka. Namun aku tidak yakin dengan perasaanku.
"Hei! Kenapa malah bengong?" Hamzah bertanya.
"Gak kok, Ham! Aku terbayang bagaimana wajah anakku kelak, apa sama cantiknya kayak Habibah?" Aku mengelak.
"Pasti cantik, kan ibunya cantik." Gurau Hamzah. Aku tertawa lepas. Hamzah tersenyum. Obrolan kami berlanjut mengingat hal-hal lucu saat Hamzah KKN. Aku senang bisa menghibur Hamzah.
Namun tawaku berhenti saat kulihat bayangan Alif dari dalam rumah. Dia yang sedari tadi berdiri mematung berjalan keluar menghampiri kami. Hamzah seketika menghentikan tawanya. Keadaan menjadi canggung.
"Aku masuk dulu, sepertinya Habibah ngompol." Aku menghindar dari suasana tak nyaman itu. Aku masuk ke dalam rumah. Kuberikan Habibah pada Mpok Salma, pengasuh yang di sewa Mama.
Aku kembali ke arah teras sengaja ingin mencuri dengar obrolan Alif dan Hamzah. Hatiku mengatakan Alif sangat marah tadi.
"Aku akan ceraikan Ainnun, jika kamu mau berjanji untuk membahagiakannya." Suara Alif lirih hampir tidak terdengar