"Abel lucu ya?"
"Heh? Iya, dia yang bikin rumah sakit jadi rame. Semoga penyakitnya cepat diangkat." Alif tersenyum, sambil tetap mengendarai Jeep-nya. Sesekali melihat ke arahku.
"Aamiin, kira-kira nanti Habibah kalau besar apa bisa selucu Abel ya, Lif?"
Alif memandangku, tanpa sadar ada orang menyeberang jalan.
"Aliiff!!" Aku berteriak, Alif spontan mengerem mobilnya. Untung saja tidak terjadi apa pun. Pemuda penyeberang jalan memaki, Alif membuka kaca mobil dan meminta maaf. Lalu kembali menjalan Jeep-nya.
"Kok kamu ngelamun sih, Lif? Ada masalah, ya?"
Alif tersenyum kecut, lalu menggelengkan kepalanya. Tak ada lagi obrolan di antara kami. Rasanya ada yang salah dengan kata-kataku yang membuat Alif kehilangan konsentrasinya. Kami diam tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Aku sudah tak tersesat, aku sudah menemukan jalan hidupku. Aku janji akan jadi istri terbaik untuk Alif. Istri yang bisa Alif banggakan di depan semua orang.
Sampai di rumah kulihat Habibah menangis dalam gendongan Hamzah. Aku tak tega melihatnya, segera menghampiri dan mengambil Habibah dari gendongan Hamzah.
"Ada apa dengan Habibah, Ham?"
"Gak tahu! Dari tadi nangis terus,"
"Mpok Salma ke mana?"
"Keluar membeli susu dan popok. Tadi Habibah tidur, tiba-tiba bangun sambil nangis gak mau diem sampai sekarang."
"Mama ke mana?"
"Keluar sama Papa."
Aku menimang Habibah dalam gendonganku. Hamzah ikut membantu, tak lama Habibah mulai tenang. Kupandangi bayi mungil itu, Hamzah juga berdiri di sampingku tampak khawatir dengan kondisi putrinya. Sesekali tangannya mengusap pipi Habibah.
Sejenak aku teringat Alif, dia berdiri memandang ke arah kami bertiga. Saat aku melihatnya, Alif berlalu pergi ke dalam rumah. Aku menyerahkan Habibah pada Hamzah, aku enggak mau Alif salah paham karena cemburu.
Akan tetapi baru saja aku ingin memasuki rumah, tangis Habibah kembali pecah. Aku tak tega, jadi aku lebih memilih kembali menggendong Habibah.
Selepas makan malam, Alif baru pulang dari rumah sakit. Wajahnya terlihat lelah. Alif langsung ke kamar mandi mengganti bajunya. Dari luar pintu kuberanikan diri bicara padanya.
"Aku siapkan makan ya, Lif?"
"Gak perlu! Aku sudah makan tadi." Alif keluar dari kamar mandi.
"Teh hangat atau susu mungkin?"