"Assalamualaikum Bu." Aku mengetuk rumah perlahan. Berusaha tenang agar Bapak dan Ibu tidak curiga.
"Assalamualaikum Pak!"
"Waalaikumsalam ...." Terdengar suara ibu menjawab salam lalu pintu dibuka.
"Ainnun?" Ibu terkejut, aku langsung memeluknya. "Sendirian, Nun?" lanjutnya.
"Iya Bu, aku kangen sama Ibu. Sementara Alif sibuk dengan pekerjaannya, jadi aku pulang sendiri Bu.” Aku berbohong.
"Harusnya kamu nunggu suamimu libur dulu. Malam-malam gini gak baik pulang sendirian."
"Yang penting Innun sampai di rumah dengan selamat kan, Bu?"
"Ya sudah, ayo masuk!"
"Bapak sudah tidur Bu?"
"Ada di kamar, Bapakmu sudah seminggu sakit."
Aku kaget mendengarnya, lalu bergegas ke kamar menemui Bapak.
"Lho Nun, kamu pulang?"
"Iya Pak, Ainnun kangen sama Bapak dan Ibu."
"Alif mana?"
"Gak ikut Pak, Alif sibuk nanti kalau mau dia pasti nyusul."
"Oala, Bapak dengar istri Hamzah meninggal?"
Aku melotot mendengar pertanyaan Bapak, dari mana Bapak tahu tentang Hamzah dan istrinya? Apa Bapak juga sudah tahu kalau Alif dan Hamzah kembar?
"Nun?"
"Eh, iya Pak, meninggal waktu melahirkan Habibah."
"Malangnya nasib ibu dan anak itu. Ibunya enggak diterima jadi menantu dan anaknya harus kehilangan ibunya."
"Bapak kok tahu semuanya?" Tak tahan lagi dengan rasa penasaranku.
"Alif yang cerita.”
"Kapan?"
Tut turutut tut ... tut tut
Bunyi ponsel berbunyi, sejak kKapanBapak punya benda itu? Ponsel lamaku sudah rusak dan sampai sekarang aku tak pegang ponsel, lalu Bapak dapat ponsel dari mana?
"Hallo Nak Alif, pasti khawatir dengan Ainnun ya? Dia barusan nyampek Nak." Bapak menjawab dengan senyum mengembang. Beliau mendengar dengan antusias Alif yang bicara di ujung sambungan telepon.
"Iya gak apa-apa, Nak! Jangan buru-buru. Hati-hati di jalan."
"Waalaikumasalam ...."
Ponsel tadi mati, lalu Bapak meletakkan benda kecil itu di atas nakas.