Antara Alif dan Hamzah

Imroatul Mufidah
Chapter #14

Chapter 14

Selepas makan malam aku mencuci piring, Alif duduk di teras mengobrol dengan Bapak. Selesai dengan pekerjaan di dapur, aku ikut bergabung dengan mereka. 

"Pak, istirahat! Sudah malam." 

"Jam berapa to, Bu?"

"Sudah jam 9, angin malam gak bagus untuk kesehatan Bapak," paksa Ibu. Bapak menurut dan beranjak dari tempat duduknya.

"Bapak istirahat dulu, kalian juga cepat masuk, hawa di sini akhir-akhir ini sangat dingin,” ucap Bapak.

"Biarin aja! Nanti kalau kedinginan mereka masuk sendiri. Nun! Nanti jangan lupa kunci pintunya." Ibu menimpali.

"Iya, Bu."

Ibu dan Bapak berlalu menghilang di balik pintu kamar. Alif yang tadi duduk di hadapanku pindah ke samping. Lagi dan lagi aku merasa panas dingin. Aliran darahku terasa panas, tetapi tubuhku menggigil. Alif menyadari kondisiku.

"Masuk aja, yuk! Aku ngantuk Ai, kemarin malam kurang tidur." Aku hanya mengangguk, tak sanggup bicara.

Alif masuk ke kamar, aku menyusul setelah mengunci pintu. Saat memasuki kamar kulihat Alif sudah siap berbaring di lantai tempat biasa aku salat. Di kamarku tidak ada sofa seperti kamar-kamar di rumah Alif.

"Lif, tidur di atas saja! Udara sangat dingin, jangan di lantai nanti masuk angin." Aku mencari alasan.

"Yakin?"

"Alif ...."

Dia tersenyum lalu pindah di atas ranjang. Alif merebahkan tubuhnya. Sepertinya dia benar-benar lelah, tak berapa lama dia sudah terlelap. Kulepas hijab untuk pertama kalinya di depan Alif. Kupandangi suamiku. Ya! Aku sudah yakin menyebutnya suamiku. Meski kalimat cinta belum saling terucap tapi aku yakin akan rasa itu. Bahasa tubuh kami yang bicara.

Kurasakan udara semakin dingin meski selimut sudah menghangatkan. Kubuka mata ingin melihat jam, tetapi aku malah tidak menemukan Alif di tempatnya. Tak lama pintu terbuka, rambutnya basah.

"Kenapa bangun, Ai?"

"Kamu sendiri kenapa?"

"Aku mau salat tahajud, mau bareng sekalian?"

Aku segera mengangguk tanpa berpikir. Meski air sedingin es, aku gak peduli. Aku ingin salat malam berjamaah dengan Alif. 

Takbir yang diucapkan Alif begitu meresap di kalbu, membuatku ingin selalu mendengarnya. Zikir dan doa yang dipimpin oleh Alif serasa kurang panjang, meski telah lama aku duduk bersimpuh.

Setelah salat kami selesai, Alif memutar tubuhnya dan tersenyum. Kali ini aku tak mau kalah, balas menatapnya. Biarlah Alif menganggapku agresif, toh kami sudah halal. Sedetik kemudian sebuah kecupan hangat mendarat di keningku. Kupejamkan mata, Alif memelukku, lalu kembali mendaratkan sebuah kecupan di bibirku.

"I love you Ai." Kubuka mata yang langsung bertemu dengan dua bola mata Alif.

"I love you too," balasku.

Selanjutnya semua bisa bayangkan yang terjadi. Honeymoon yang tertunda. Bagi kami inilah malam pertama kami. Bukan malam setelah kami menikah, tapi malam setelah hati kami menyatu. Ketika kami masih memiliki wudu dan selesai salat malam. Sebuah perasaan cinta yang suci tanpa ada godaan setan.

Azan subuh samar terdengar di telinga. Beberapa helai rambut menutup wajahku. Tak lama sentuhan tangan lembut menyibakkan rambutku. Kubuka mata perlahan. Kekasih halalku tengah asyik memandang.

"Bangun yuk! Salat dulu," ucap Alif lirih. 

Aku tersenyum, baru mau beranjak dari ranjang, kurasakan sedikit perih di bagian bawah tubuhku.

"Sakit ya? Maaf, Ai." Alif tampak khawatir. Aku tersenyum dan menggeleng.

"Ku temani ya?" Alif kembali menunjukkan perhatiannya.

"Gak apa-apa, Lif. Nanti juga terbiasa."

"Emang iya begitu?"

"Katanya sih gitu."

"Kata siapa?"

Lihat selengkapnya