"Ainnun, sebenarnya siapa yang kamu cintai? Alif atau Hamzah?"
Pertanyaan itu membuatku malu, kenapa masalah ini bisa sampai pada Papa dan Mama? Aku memandang tajam pada Hamzah. Dia menatapku sejenak lalu menunduk.
"Nun?" Mama tak sabar menunggu jawabanku.
"Alif Ma, Ainnun cinta sama Alif." Bibirku bergetar saat mengatakannya. Bukan karena ragu lebih karena merasa bersalah.
"Lalu kenapa Alif ingin menceraikanmu?"
Pertanyaan selanjutnya membuatku semakin menunduk malu, ini semua memang salahku. Harusnya aku fokus pada Alif bukan malah membandingkan mereka. Sekarang salah paham ini sudah terlalu jauh. Air mataku menetes, rasanya tak sanggup menjawab pertanyaan itu.
"Ini salah paham Pa." Sepertinya Alif menyadari keadaanku, sehingga dia yang bicara.
"Lif, Papa bertanya pada Ainnun."
"Tapi yang ingin menceraikannya Alif bukan Ainnun yang minta."
"Lif, biarkan Ainnun yang jawab!" Kali ini Mama ikut bicara lagi.
"Ainnun istri Alif dan Alif berhak bicara untuk membelanya, Pa! Ini semua salah paham."
"Dari mana kamu tahu ini salah paham? Apa kamu bisa membaca isi hati Ainnun?"
"Alif tidak bisa membaca isi hati siapa pun Pa, tapi Alif cukup mengenal Ainnun lebih dari dia mengenal dirinya sendiri. Alif kemarin salah paham, hanya karena cemburu melihat kedekatan Ainnun dan Hamzah. Alif mengatakan ingin cerai pada Hamzah bukan pada Ainnun. Tapi itu hanya di mulut Pa, bukan dari hati."
Suasana menjadi hening dan tegang. Alif terlihat bingung dan cemas. Aku ingat jika air mataku bisa membuat Alif hilang akal. Itu bukan sekedar gombal, hari ini aku bisa melihat Alif tampak tak tenang seperti biasanya. Ada emosi yang tertahan. Kuusap air mata, tak mau membuat Alif hilang akal.
"Masalah ini bukan sekedar salah paham, Lif. Jika dibiarkan ini bisa jadi perpecahan."
Alif hendak berdiri karena emosinya memuncak. Namun, kutahan tangannya dan kuremas kuat. Aku berharap Alif tenang.
"Maaf Ma, Pa! Ini memang salah Ainnun. Sebenarnya Ainnun gagal mengenali Alif. Ainnun tidak tahu Alif kembar, dan dua bulan dekat dengan Hamzah di kampung sedikit memudarkan bayangan tentang Alif. Saat kembali bertemu dengan Alif, Ainnun terkejut dengan perubahan wajah Alif. Di situlah Ainnun ingin meyakinkan hati Ainnun siapa sebenarnya yang Ainnun cintai. Tapi pertengkaran kemarin membuat Ainnun sadar jika Alif yang Ainnun cinta, bukan Hamzah. Ainnun hanya kagum pada Hamzah. Hanya itu Ma, Pa."
"Kamu yakin?" Papa bertanya dengan tatapan tajam.
Aku memandang Alif yang berada di sebelahku. Alif pun memandang diriku, kugandeng tangan Alif dengan mantap.
"Ainnun yakin Pa, Alif pemilik hati Ainnun," jawabku tanpa melepas tatapanku pada Alif. Mata yang penuh amarah itu kini berubah menjadi sendu. Sepertinya amarah Alif telah padam.
"Lalu kamu Hamzah, sebenarnya apa yang kamu rasakan pada Ainnun?" Papa ingin memperjelas semuanya, tak ingin ada salah paham lagi.