Jeep hitam milik Alif memasuki area perumahan. Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah tipe 45. Alif membuka gerbang lalu memasukkan mobilnya. Ada taman kecil di depan rumah.
"Maaf Ai, kita tinggal di sini gak apa-apa kan?"
"Bagus kok! Insya'allah aku betah."
"Alhamdulillah, ayo masuk!"
Alif membuka pintu dan menyalakan lampu. Setelah membaca doa kulangkahkan kaki memasuki rumah itu. Alif kembali ke mobil mengambil koper.
"Ini rumah siapa, Lif?"
"Tadinya aku beli rumah ini untuk Hamzah dan Nurma, kasihan jika mereka terus mengontrak rumah. Gaji pegawai honorer di Dinas Pertanian kan tak seberapa. Jadi kupikir rumah ini bisa mengurangi beban biaya hidup mereka. Tapi karena Hamzah sudah pulang ke rumah dan Nurma telah tiada, aku batalkan rencanaku. Sekarang bisa kita gunakan untuk sementara. Nanti kalau kamu gak nyaman kita bisa cari tempat lain."
"Di mana pun kita tinggal, asalkan bersama-sama aku akan nyaman."
Alif tersenyum sembari membuka pintu kamar yang letaknya dekat dengan ruang tamu. Rumah itu terdiri dari dua kamar. Sebuah kamar mandi di antara kedua kamar tersebut. Ketiga ruangan itu berjajar di sebelah kiri, bagian kanan rumah ruang tamu dan dapur, ada pintu keluar lewat belakang.
"Tapi Lif, apa keputusan kita ini benar?"
"Bukan aku gak percaya padamu dan Hamzah, Ai, tapi lebih karena aku ingin Mama dan Papa berhenti mencurigaimu."
"Semoga ini yang terbaik ya, Lif?"
"Sudah jangan dipikirkan! Aku mandi dulu, habis itu kita keluar beli makan. Sekalian belanja buat kamu masak besok."
Aku mengangguk mengiyakan. Alif membuka koper dan mencari handuk. Aku pun sama, membuka koper dan memindahkan isinya ke dalam lemari. Terlintas di pikiranku, bagaimana jika mama malah membenciku karena telah membuat keretakan pada hubungan keluarga kami? Aku tak tahu harus bagaimana.
Pagi itu hari minggu, kami sama-sama libur dan bebas dari tugas. Aku memasak di dapur. Alif membantu membereskan rumah. Aku memang menolak ada pembantu di rumah. Selain karena rumah kami kecil, juga karena aku tak punya kesibukan apa pun selain mengajar.
"Ai, Papa dan Mama datang!" Alif berteriak dari ruang tamu. Jantungku langsung berdebar. Aku berjalan pelan menuju ruang tamu, mencium punggung tangan Papa dan Mama.
Alif ke belakang mencuci tangan. Aku duduk di depan menemani Papa dan Mama.
"Nun, pulanglah, Nak! Maaf jika Mama salah sangka padamu."
"Ma, bukan Ainnun tak mau pulang, tapi Ainnun nurut Alif aja! Gimana maunya Alif?"
"Alif bukannya gak mau pulang Ma, tapi Alif gak mau hal yang sama terus berulang. Alif gak mau terus ada salah paham." Alif yang tiba-tiba muncul dan menyahut.
"Lif, Papa percaya Ainnun dan Hamzah tidak ada hubungan apa pun, dan mereka punya batasan masing-masing." Papa ikut bicara.
"Alif juga percaya pada Ai dan Hamzah. Mama yang tidak percaya, jika Mama bisa mencurigai Hamzah, di mana Hamzah adalah anak Mama sendiri dan hasil dari didikan Mama, apalagi pada Ainnun yang cuma menantu. Setiap doa orang tua apalagi ibu itu diijabah oleh Allah. Dan jika setiap hari Mama menuduh Ainnun dan Hamzah ada hubungan, meskipun di dalam hati. Itu sama saja dengan doa! Bagaimana jika doa Mama diijabah? Pikirkan perasaan Alif, Ma!"
"Mama minta maaf Lif, Mama cuma ingin menjaga hubungan keluarga kita."
"Alif juga sama Ma, bagi Alif ini keputusan terbaik."
Papa terlihat mengisyaratkan pada Mama agar diam dan menghargai keputusan Alif. Mama tampak kecewa, tapi Alif teguh dengan keputusannya. Aku hanya diam tak ingin bicara, pun juga tak mau salah bicara. Kupikir diam adalah cara terbaik dalam suasana ini.
Sejak hari iiniMama dan Papa tak pernah lagi memaksa kami pulang. Aku dan Alif menjalani hari-hari berdua. Meski terasa sepi, tapi kami tetap bersyukur. Kesibukan masing-masing cukup buat hiburan. Sesekali Ratih datang ke rumah membawa Yogi. Dari sanalah aku tahu jika suami Ratih adalah Lukman. Ketua kelas di SMA dulu.