Antara Alif dan Hamzah

Imroatul Mufidah
Chapter #1

Chapter 1

"Bunda, alif dan hamzah itu beda ya?"

"Beda sayang, huruf hamzah bisa berada di awal kata, di tengah kata maupun di akhir kata, sementara huruf alif hanya bisa berada di tengah atau akhir kata, karena huruf alif tidak bisa diharakati kecuali dengan sukun, oleh sebab itu, tidak bisa berdiri di awal kata karena awal setiap kata selalu berharakat."

"Habibah gak ngerti Bunda,"

"Nanti saat Habibah besar, Habibah bisa belajar ilmu Al - Qur'an lebih dalam lagi, biar bisa mengerti."

"Aneh! Padahal pas pertama belajar katanya alif fathah A. Hamzah fathah juga A. Tapi gak sama," gadis kecilku bergumam sendiri.

'Berbeda sayang, Alif dan Hamzah sangat berbeda. Walaupun orang lain menganggapnya sama,' memoriku memutar kenangan lama. Menembus lorong waktu kembali pada 15 tahun yang lalu saat masih mengenakan baju putih abu-abu.

Hari itu pertama kali aku menginjakkan kaki di kota ini. Mengendarai mobil bak terbuka dengan beberapa barang. Tiba-tiba mobil kami mengalami masalah, ban belakang bocor. Sementara bak penuh barang-barang.

"Harus turunkan beberapa barang dulu ini Pak!" ucap Mang Ujang pada Bapak.

"Ya mau gimana lagi? rumahnya masih agak jauh Mang!" jawab bapakku.

Panasnya matahari siang itu membuat kami semakin lelah. Mobil berhenti tepat di pinggir jalan di tengah persawahan. Rumah penduduk masih sekitar dua kilometer. Aku dan Ibu duduk di bawah pohon agak jauh dari mobil. Bapak dan Mang Ujang sibuk menurunkan barang. 

Tiba - tiba datang dua orang pemuda mengendarai motor. Kupikir mereka berniat jahat. Melihat motornya yang penuh modifikasi ala-ala anak punk. Ternyata mereka justru membantu Bapak menurunkan barang, mendongkrak mobil, dan menaikkan barang kembali.

"Ini, Nak, buat beli bakso!" Bapak menyodorkan dua lembar lima puluh ribuan.

"Tidak usah Pak! Terimakasih! Kami ikhlas." 

Dua pemuda itu langsung pergi setelah berpamitan. Kami melanjutkan perjalanan.

"Gak nyangka ya Bu? Masih ada pemuda yang peduli lingkungan sekitar, padahal penampilannya seperti itu," ucapku.

"Jangan melihat seseorang dari tampangnya, Nak!" 

Itulah kali pertama aku melihat Alif, pemuda berambut ikal dengan kulit putih tetapi terlihat kusam.

Keesokan harinya aku mulai memasuki sekolah baru. Tak banyak sekolah yang mau menerima siswa di pertengahan semester. Jadilah aku masuk SMA Tirtayuda, bukan sekolah negeri. Sebagai murid baru tak banyak yang ku kenal. Nisa teman pertama di sekolah itu, karena kami sebangku. Ternyata rumahnya dekat denganku, beda gang saja.

Saat jam istirahat Nisa mengajakku keliling sekolah. Dia menunjukkan seluruh isi sekolah. Gedungnya cukup bagus dengan fasilitas yang lengkap.

Ketika kami berjalan di samping lapangan basket, mataku berhenti pada seorang pemuda berambut ikal yang kemarin membantu.

"Nisa itu siapa?" tanyaku.

"Yang mana?"

"Yang rambutnya ikal, yang bajunya di keluarin."

"Oh, itu Alif namanya. Ketua genk di sekolah ini. Mending jangan berurusan dengan dia deh!"

"Kenapa? Dia baik, kok!"

"Tahu darimana dia baik? Dia itu troblemaker."

"Maksudnya trouble maker?"

"Iya itu maksudku, hihihi."

"Dia baik kok!" 

Aku masih gigih dengan pendapatku. Teringat kata Ibu untuk melihat seseorang bukan dari penampilannya.

Entah memang takdir atau tak sengaja, siang itu aku kembali bertemu dengan Alif. Dia sedang bergerombol dengan teman-temannya godain cewek dari SMA lain yang lewat di depan mereka.

"Tuh kan Nun, dia itu bukan cowok baik-baik," celoteh Nisa.

"Nggak, ah, Nis. Orang dia cuma ikut ketawa aja, gak ikut godain."

Aku dan Nisa lewat di dekat gerombolan itu, mereka malah sibuk bercanda. Tidak menggubris dengan keberadaan kami.

Aku melirik ke arah Alif, pemuda itu tersenyum. Ku balas senyumannya dan ku anggukkan kepala. Mungkin pipiku merah saat itu, hanya saja tertutup jilbab putih.

"Kok kamu malah balas senyum sih, Nun?" protes Nisa

"Kenapa? Alif itu baik kok!"

"Kenapa sih kamu kekeh bilang dia baik?"

Lihat selengkapnya