"Yes! Lulus, Bro!"
"Gua juga lulus!"
"Aku lulus, yes!"
Teriakan teman-teman memenuhi halaman sekolah setelah melihat papan pengumuman. Seluruh siswa SMA Tirtayudha lulus 100%. Meskipun swasta, tetapi prestasinya tak bisa disepelekan.
"Akhirnya lulus ya, Lif?" kataku.
"Iya, berarti selangkah lagi menuju hidup baru." Alif memandang papan pengumuman dengan sorot mata tajam.
Suara sirene mengheningkan kebisingan di halaman sekolah. Sebuah mobil polisi berhenti tepat di bawah tiang bendera. Dua orang pria berseragam menghampiri tempat aku dan Alif berdiri.
"Saudara Alif, Anda kami tahan atas tuduhan pembunuhan dan pemerkosaan."
Seorang polisi menyodorkan surat penangkapan. Aku benar-benar merasa semua itu mimpi buruk. Terdiam tak bergerak berharap bangun dari mimpi itu. Tak percaya dengan apa yang ku dengar.
"Aku gak bersalah, Ai." Alif berbisik, aku masih mematung. Polisi satunya memegang tangan Alif dan diborgol.
"Aku gak bersalah Ai, percayalah! Aku gak bersalah!" Alif terus bicara dan teriak meyakinkanku. Namun, aku bergeming. Ingin menjawab bahwa aku percaya padanya, tetapi bibirku terkunci. Sekejap kemudian rasanya semua gelap.
Saat membuka mata, aku sudah di ruang UKS. Ratih dan Nisa di sana, juga beberapa teman yang lain.
"Alif?!"
"Tenang dulu, Nun, minum dulu!" Nisa memberiku segelas air putih. Aku meneguknya.
"Sabar ya, Nun? Aku yakin ini salah paham." Ratih mulai bicara.
Ini berarti apa yang terjadi bukan mimpi. Ini semua nyata, Alif tersandung kasus serius.
"Tapi masalah yang dihadapi Alif memang berat. Dari saksi dan bukti Alif pelakunya." Nisa menimpali kalimat Ratih.
"Saksi dan bukti?" Aku semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Iya Nun, saksi melihat Alif bersama wanita itu, dan buktinya sebuah pentungan yang terdapat sidik jari Alif saja!" jawab Ratih.
"Siapa korbannya?" Aku tak sabar ingin mendapat penjelasan.
"Korbannya Nurma dan Iwan, kakak tiri Nurma."
"Dua orang?"
"Iya Nurma diperkosa dan dipukul kayu, sekarang kritis. Sedangkan Iwan meninggal karena mengalami pendarahan di kepala akibat hantaman benda tumpul."
"Alif gak mungkin seperti itu. Aku yakin!" sangkalku.
Aku panik, turun dari ranjang mencari sepatu. Ingin kudengar semua penjelasan Alif. Baru mau keluar dari pintu, Ibu dan Bapak menghalangi jalanku.
"Ibu sudah bilang jangan dekati pemuda itu! Kenapa kamu keras kepala?" hardik Ibu.
"Ibu! Alif baik Bu, aku yakin Alif gak bersalah.” Aku mulai menangis.
"Cukup, Nun! Apa kamu ingin membangkang?"
"Pak, tolong Pak! Izinkan Ainnun menemui Alif sekali saja! Ainnun janji setelah ini akan menuruti semua kemauan Bapak." Aku memohon pada Bapak yang sedari tadi diam di samping Ibu.
Bapak menatap tajam, mencari kejujuran dan ketulusan dalam mataku. Ibu menatap Bapak seperti memberi isyarat agar Bapak mencegahku.