Antara Cinta, Karir, dan Berat Badan

Suryawan W.P
Chapter #1

Cantik Itu Luka

Aku masih belum bisa percaya sepenuhnya. Akhirnya sampai juga di titik ini. Lima tahun lebih itu bukanlah waktu yang sebentar. Satu setengah tahun lebihnya dari waktu yang ideal. Dan segala sesuatu yang lebih itu tentu saja menjadi tidak ideal. Namaku Gladys, 24 tahun, dan tidak ideal.

Aku masih mematut-matut di depan cermin. Cantik. Rasanya ini adalah penampilan tercantikku seumur hidup. Menjadi cantik itu ternyata butuh pengorbanan. Kalau ada yang bilang cantik itu luka, aku tidak menyangkal. Aku sudah membuktikannya. Aku tahu sendiri bagaimana rasanya disiksa di atas ranjang pembantaian. Ruangan yang berisi deretan ranjang di klinik kecantikan itu tak ubahnya seperti bangsal rumah sakit. Di atas tempat tidur, pasien-pasien terbaring. Mereka tak berdaya dan menyerahkan dirinya untuk disiksa sedemikian rupa. 

“Udah Mbak, udah..” pintaku mengiba-iba. Memohon belas kasihan.

“Nggak bisa Mbak. Dikeluarinnya harus tuntas. Kalau nggak akan jadi jerawat.” 

Aku cuma bisa pasrah. Menahan diri untuk tidak meronta. Air mataku menetes satu per satu. Ya Tuhan kenapa mau jadi cantik saja begini susahnya? Ini semua karena terapis sialan berkaus tangan karet yang terus memencet-mencet wajahku. Kaus tangannya terasa kasat di mukaku. Tak dibiarkannya sesenti pun bagian dari mukaku yang terlewat. Semua area berkomedo dipencet-pencet tanpa belas kasihan. Itu belum seberapa karena penyiksaan sesungguhnya baru akan dimulai.

Ini semua kebohongan publik. Aku tidak bisa terima. Bagaimana mungkin wanita-wanita di poster itu bisa tersenyum dengan begitu bahagianya saat wajahnya diuapi dengan uap panas sebelum facial dimulai. Wajahku diuapi sebelum terapis itu mulai memencet-mencetnya. Tadinya kupikir proses itu akan menentramkan jiwa raga, tapi ternyata tidak. Itu semua bohong. Aku mencoba untuk tersenyum menirukan senyum model-model cantik di poster yang tertempel di dinding, tapi yang tersungging adalah senyum kepedihan. Untuk yang belum pernah merasakan mungkin beberapa langkah berikut bisa dicoba. Pertama masak air dalam panci. Tunggu hingga mendidih. Begitu mendidih, buka tutup pancinya, lantas arahkan wajahmu tepat di atas panci itu. Jangan lupa lakukan itu sambil tersenyum bahagia. Kurang lebih seperti itulah sensasinya.

Apa-apaan ini? Belum cukup mbak terapis berkaus tangan karet itu menguleni seluruh wajahku seperti adonan kue, ditekannya hidung sebelah kiriku. Sepertinya ada area berkomedo di pinggiran hidungku yang membuatnya harus melakukan itu. Sialnya lobang hidung sebelah kananku sedang mampet. Terpaksa aku mencoba bernapas lewat sudut bibirku sambil tetap tersenyum cantik tentunya. Dalam hati aku terus berdoa semoga aku tidak kehabisan napas. Seingatku belum pernah kubaca berita seseorang tewas gara-gara facial. Itu cukup untuk melegakanku, meskipun itu tak cukup untuk membuatku berhenti mengutuk dalam hati. Ini akan menjadi facial pertama dan terakhir dalam hidupku.

Lihat selengkapnya