Aku tersenyum sendiri mengingat semuanya. Mulai dari pagi itu, ketika kudapati namaku termasuk yang lolos penerimaan mahasiswa baru. Kami sekeluarga merubung satu layar laptop untuk melihat pengumuman. Malam itu juga kami makan di luar bersama sekaligus untuk syukuran. Agatha dan Julia pun turut serta.
Aku diterima di jurusan teknik sipil di universitas negeri di kota Jogja. Tadinya aku ingin mengambil jurusan teknik elektro seperti Agatha untuk pilihan dua, tapi aku teringat bagaimana aku selalu gagal dalam tiap praktikum elektronika di sekolah dulu. Membayangkan kabel-kabel yang kusut dan komponen-komponen elektronik yang kecil sudah membuatku pusing. Akhirnya kulingkari pilihan jurusan teknik sipil pada lembar formulirku. Tak apalah kalau aku tidak bisa sejurusan dengan Agatha, paling tidak kami satu fakultas, kupikir aku masih akan bisa main ke kampusnya. Alasan pemilihan jurusan yang tolol sekali.
Ternyata alasan itu tak pernah jadi kenyataan. Jangankan untuk bermain ke jurusan lain, untuk sekadar ngobrol lewat telepon atau whatsapp dengan dua sahabatku itu saja sudah tidak lagi sempat. Kami sibuk dengan urusan perkuliahan masing-masing. Kalau bukan aku yang sedang berhalangan, ya salah satu sahabatku itu. Susah menemukan waktu yang cocok untuk bertemu. Bahkan hari Sabtu dan Minggu kadang harus kuhabiskan di lab kampus.
Masuknya susah, kuliahnya susah, keluarnya juga susah. Begitulah kuliah di jurusan teknik sipil ini. Aku tidak menyangka akan begini sulitnya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, gadis cantik sepertiku akan memakai helm proyek, memegang sekop, dan mengaduk-aduk adonan semen dan beton. Itu cuma salah satu praktikum yang harus kujalani di antara praktikum-praktikum berat yang lain. Harus panas-panas, jalan ke sana ke mari, mencari data untuk praktikum ilmu ukur tanah. Belum lagi beberapa laporan praktikum menghabiskan kertas berlembar-lembar dan harus ditulis tangan.
Hampir tidak pernah ada libur semester bagiku. Nilai-nilai C di KHS ku membutuhkan semester pendek agar berubah menjadi A, walau lebih seringnya hanya bisa berubah menjadi B. Bahkan ada satu mata kuliah yang hampir membuatku gila. Aku hampir putus asa. Dua kali dosen yang rambutnya sudah putih semua itu memberikan garpu alias nilai E kepadaku untuk mekanika teknik. Baru pada pengambilan ketiga, tercetak nilai C di KHSku.
“Mekanika teknik dapat nilai apa, Dys?” Tanya Vina temanku.
“C, Alhamdulillah.” Jawabku girang.
“Siiip, kita makan-makan dong habis ini. Nanti kuajak Rendy dan Badu.” Sahut Vina, bersemangat.