Sudah tak terhitung berapa kali kedua sahabatku itu menyodorkan profil-profil cowok yang menurut mereka cocok denganku. Bahkan bukan itu saja, beberapa kali mereka merencanakan blind date segala. Aku tentu berterima kasih pada kepedulian mereka. Walaupun sebenarnya agak ragu juga, apakah mereka benar-benar peduli atau cuma penasaran saja padaku yang belum pernah menyandang status pacaran. Masalahnya, cowok-cowok yang mereka rekomendasikan sering kali tidak masuk akal. Zonk.
“Yang ini beneran high quality Dys. Serius. Nyesel kalau dilewatkan..” kata Julia meyakinkan.
“Ini dapat dari mana lagi?” tanyaku agak ketus.
“Temannya sepupu Gani.” Jawab Julia.
Mendengar nama Gani, pandangan mataku langsung benderang. Abdul Gani adalah jaminan mutu. Sosok kakak kelas di SMA yang selalu jadi idola para siswi. Ganteng, pinter, sholeh, nyaris tak ada celanya. Tanpa pikir panjang aku langsung menggangguk kali ini. Semoga temannya sepupu Gani ini memiliki kualitas yang beda tipis dari Abdul Gani. Atau kalau bisa lebih sempurna dari Gani.
Andrian Bimasakti. Dari namanya cukup menjanjikan. Waktu itu aku masih kuliah semester satu. Awal-awal mengenal dunia perkuliahan. Bisa dibilang masih mahasiswa cupu. Mudah kagum dan takjub pada sesuatu.
“Kita harus jadi mahasiswa yang sukses, Gladys. Tidak boleh biasa-biasa saja. Harus luar biasa.” Begitulah Andrian membuka percakapan. Menarik, pikirku.
Aku tidak menyangka kalimat-kalimat itu akan keluar dari mulutnya. Sungguh pemikiran yang berbeda dari kebanyakan mahasiswa baru lainnya. Bahkan rambut di kepalanya pun masih belum bisa disisir. Model rambut cepak ala tentara. Sisa-sisa model rambut plontos karena ospek yang masih kentara. Namun cara pikirnya sudah jauh melampaui usianya.
“Kita harus bisa berpikir selangkah, dua, lima, atau sepuluh langkah ke depan. Harus lebih maju dari mahasiswa lainnya.”
Tampaknya cowok ini memang berjiwa visioner. Cukup memenuhi kreteria laki-laki sebagai pemimpin yang telah kubuat. Rasanya dia juga bisa dijadikan sosok suami yang ideal. Ups, sepertinya aku membayangkannya kejauhan. Namun kalau memang ada laki-laki yang ideal, aku rela kok cuma sekali saja merasakan pacaran dalam hidupku dan kemudian langsung menikah.
“Pasti orang tua kita akan bangga, jika sebelum lulus kita sudah punya penghasilan sendiri. Membantu membiayai sekolah adik. Atau sekalian menghajikan kedua orang tua.”
Sempurna. Tidak ada yang lebih kuinginkan dari sosok pria, kecuali kecintaannya pada keluarga. Dan, Andrian ini memiliki kriteria tersebut. Aku terharu. Ingin rasanya setelah pertemuan blind date pertama ini, aku mengenalkannya pada keluargaku. Aku yakin papa dan mama akan merestui kebersamaan kami berdua. Terima kasih, Julia. Terima kasih, Agatha. Kali ini rekomendasi kalian begitu luar biasa.