“Stres sih stres tapi ya jangan bikin stres gitu dong..” Lucky yang baru masuk rumah langsung mencerocos.
“Apaan sih? Pulang sekolah bukannya ganti baju malah ngajak ribut. Lagian siapa yang stres gitu?” kulempar dia dengan bantal. Lucky berusaha menghindar. Kemudian mencoba mencari jalan di antara barang-barangku yang berserakan di lantai.
“Ya ampun kakakku udah stres sekarang tambah galak pula. Ini apa coba namanya kalau bukan stres. Koran-koran berterbaran nggak karuan. Itu toples-toples kue juga berantakan di lantai.” Kepalanya nongol dari balik pintu kamar.
“Bawel ah. Ntar juga kuberesin.”
“Awas lho kalau sampai ketahuan eyang, bisa diomelin.”
“Bodo ” kulempar lagi dengan bantal. Dia buru-buru menutup pintu kamar.
Menyebalkan. Punya dua adik selalu saja ngajak berantem. Tidak saja bentuk fisik mereka yang identik, kelakuan mereka pun identik. Mereka itu selalu kompak kalau urusan beda pendapat denganku. Kalau lagi manis, sikapnya manis banget tapi kalau lagi nyebelin, sikapnya juga nyebelin banget.
Stres? Apa iya aku stres? Jangan-jangan Lucky benar. Aku sudah sampai pada tahap stres. Selangkah lagi menuju depresi, kemudian gila. Oh tidak. Ya Tuhan aku tidak mau gila. Tapi aku kan tidak mungkin gila. Mana ada orang gila berpostur segede ini? Bukankah bentuk badanku ini terlalu sehat untuk ukuran orang gila? Namun kalau dipikir-pikir orang-orang gila itu sehat-sehat tubuhnya. Mereka kepanasan di siang hari, kedinginan di malam hari. Kadang bahkan tidak mengenakan pakaian sama sekali tapi aku belum pernah lihat ada orang gila di jalan yang masuk angin. Jadi tidak menutup kemungkinan kalau aku juga bisa gila. Ya Tuhan, aku takut gila.
Lucky sudah sampai rumah. Itu artinya sudah seharian aku rebahan di lantai ruang keluarga yang beralaskan karpet bermotif panda ini. Masih mengenakan piyama tidur bergambar doraemon. Bisa disimpulkan kalau aku belum mandi sejak bangun tidur tadi hingga sore ini.
Dengan penampilan seperti ini aku tidak bisa membela diri kalau adikku mengataiku seperti orang stres. Rambutku awut-awutan. Piyama tidur kupakai sedari semalam. Mukaku sudah pasti kumel karena belum mandi. Hidungku pun naik turun karena mencium aroma masam dari ketekku sendiri. Dan sekelilingku saat ini, seperti kapal pecah. Aku tengkurap di antara lembaran koran berserakan. Di depanku toples-toples kosong dengan kerumunan semut.