“Jadi gimana interviewnya? Sukses kan?” Julia langsung memberondongku dengan pertanyaan begitu kami duduk di sebuah kedai kopi.
“Biasa saja.” jawabku singkat.
“Kok biasa aja sih. Hari ini kamu yang traktir ya, untuk perayaan interview.” Sahutnya.
“Apa banget deh, diterima juga belum gitu.” Protesku tidak terima.
“Optimis dong Dys. Nggak sabar deh sebentar lagi punya temen artis.” Julia menimpali.
“Bukan artis ya, news anchor.” Aku mengoreksinya.
“Iya, apalah itu, yang jelas sering kelihatan di tv. Walaupun tivi lokal yang agak burem.” Lanjut Julia diiringi tawanya.
Hari ini baru saja kulalui interview di sebuah stasiun televisi lokal di kota Jogja. Tiap tahun mereka selalu membuka program Journalist Development. Untuk tahap awal pesertanya akan ditempatkan sebagai reporter. Beberapa di antaranya yang terpilih akan menjadi news anchor. Tidak menutup kemungkinan bisa merambah ke dunia hiburan untuk menjadi host di acara talkshow ataupun acara musik.
Aku sendiri tidak menyangka dari kerandoman lowongan pekerjaan yang kulamar, justru stasiun televisi ini yang pertama kali memanggilku untuk wawancara. Ini seperti mimpi lama yang tumbuh kembali. Aku ingat waktu kecil dulu begitu mengidolakan Najwa Shihab dan Rosiana Silalahi. Aku ingin menjadi seperti mereka. Meskipun pada saat itu kuanggap mereka keren karena berbeda dengan wanita-wanita yang lain. Mereka terlihat percaya diri dengan rambut pendeknya. Begitu aku mulai besar aku pun sadar kalau mereka memang keren karena kepintarannya. Dulu sering kupraktekkan bagaimana cara mereka membaca berita. Mama yang dulu sering protes kalau kuambil tabloid gosipnya dan kubaca keras-keras layaknya Rosiana Silalahi membacakan berita. Sayangnya pijar mimpi itu redup kembali tiap kali kuingat Najwa Shihab maupun Rosiana Silalahi memiliki tubuh yang langsing dan kaki-kaki yang ramping. Seumur-umur belum pernah kulihat pembaca berita dengan badan yang bulat.
“Hi, girls..” suara cempreng Agatha membahana di kedai kopi yang masih cukup sepi ini.
“Sumringah banget sih?” celetukku ketika Agatha bergabung di meja kami usai memesan minuman pada barista. Hari ini Agatha telat datang ke Girls Day Out kami karena masih ada urusan di kantor.
“Iya dong. Tebak barusan aku dianter siapa?”
“Sebenarnya mau bilang tukang ojek sih, tapi kemudian aku sadar. Nggak bakal ada tukang ojek yang berani boncengin kamu.” Jawab Julia dengan muka nyebelin.
“Sialan. Barusan aku dianterin Edu..” Jawabnya dengan diikuti senyum simpul.
“Oh, si tuyul itu..” dengusku. Kupikir cerita tentang Edu sudah berakhir sejak pertemuan tak sengaja itu. Ternyata masih berlanjut. Aku cuma bisa menghela napas. Tidak habis pikir dengan sikap Agatha.
“Kok tuyul sih. Namanya Edu. Edward Hartono.” Agatha protes.
“Kamu nggak ada kapok-kapoknya ya Tha? Jelas-jelas Tuyul itu nggak tulus sama kamu.”
Entahlah, sepertinya masih ada sedikit rasa sebal pada Edu gara-gara kejadian tempo hari di mall. Tadinya aku mencoba berpikiran positif namun lama-kelamaan tetap saja Edu telah kehilangan simpatikku. Edu tidak jauh beda dari laki-laki yang memandang wanita dari fisik saja.