Antara Cinta, Karir, dan Berat Badan

Suryawan W.P
Chapter #14

Upaya Penembakan

“Lagu ini untuk Julia Rachmawan.” Lanjut laki-laki misterius tersebut.

Laki-laki misterius di belakang piano itu adalah Abdul Gani. Bisa kulihat wajah Julia merona. Ada haru terpancar di matanya mendengarkan alunan lagu yang dinyanyikan oleh Gani. Memang suaranya tak semerdu penyanyi aslinya, namun cukup untuk melelehkan hati Julia dan pengunjung yang ada di Logan ini. Sejak beberapa bulan yang lalu Gani ditugaskan di Surabaya yang menjadikan hubungan mereka menjadi LDR. Tiap sebulan sekali Gani pulang ke Jogja untuk bertemu dengan Julia. Tadinya Julia sudah bete karena Gani bilang Minggu ini tidak jadi balik ke Jogja karena kesibukannya. Ternyata Gani mempersiapkan sebuah kejutan untuk Julia.

Entah sudah berapa kali aku bilang betapa beruntungnya Julia ini karena memiliki Abdul Gani. Melihat ketampanan dan kemapanannya semestinya dia bisa kalau mau mendapatkan wanita yang cantik ataupun seksi seperti artis-artis di TV. Namun dia memilih Julia. Ah, cinta memang bisa menangkap kualitas yang tak tertangkap mata. Semoga kelak aku menemukan cinta seperti itu.

Ada satu fakta yang tak pernah kuceritakan pada kedua sahabatku. Aku pernah punya perasaan pada Gani. Bahkan perasaan itu tumbuh jauh sebelum aku mengenal dekat Agatha dan Julia.

Saat itu masa orientasi siswa. Hari pertamaku mengenakan seragam putih abu-abu. Aku selalu menyukai awal yang baru. Perubahan status dari anak SMP menjadi anak SMA membawa sebuah harapan untukku. Semoga di sekolah yang baru nanti, aku tak mengalami perundungan seperti yang selalu ku alami dulu. Sayangnya harapan itu hanya sebatas harapan. Seringkali apa yang aku inginkan tak pernah menjadi kenyataan. Aku dibully di hari pertamaku menjadi anak SMA. 

“Hey, itu yang gendut cepat maju ke mari!”

 Teriakan kakak kelas terdengar nyaring. Anak-anak baru di lapangan saling menoleh. Mereka mencari tahu siapa orang yang dimaksud. Aku tidak perlu bertanya-tanya. Sudah tentu aku yang dimaksud. Hanya aku yang bertubuh besar di barisan ini. Anak-anak di sekitarku mulai berbisik-bisik sambil melihat ke arahku. Ada juga yang menunjuk ke padaku.

"Hey, cewek gendut cepet maju sana, sebelum dimarahi, jangan lelet." komentar-komentar yang ku dengar.

Aku maklum. Di kerumunan orang yang banyak ini tentu lebih mudah memanggil seseorang berdasar ciri yang mereka miliki. Dan ciri yang aku miliki adalah bentuk badanku yang ekstra. Lagi pula kakak kelas yang memeriksa perlengkapan ospek itu juga tidak tahu namaku. Dipanggil dengan kata Gendut, aku sudah terbiasa.

Lihat selengkapnya