Aku, Lodewijk Engels. Aku seorang mualaf, temannya Ilhan dan Chandra yang kini telah kembali menghadap Allah karena gugur saat mengemban tugas dalam membela klien yang didakwa secara tidak adil di Verenigde Staten van Indonesië, rumahku. Sudah dua tahun aku belum berkunjung sejak kematian Ibu dan Ayah. Kukira aku bisa berkunjung dengan damai, tetapi kenyataannya berbanding terbalik akibat ulah Perdana Menteri Willem van Huizen sialan yang selalu memberikan pernyataan kontroversial dan memenangi pemilu dengan cara curang.
Ilhan, Chandra, het spijt me[1]. Aku terlalu egois dan mementingkan diriku sendiri hingga kalian harus merenggut nyawa. Kau benar, Ilhan, seharusnya aku yang menghadapi Ludwig, tetapi aku terlalu menyayanginya hingga aku lupa bahwa dia berada di sisi yang lainnya, menyebabkan kalian berdua berada dalam bahaya hingga akhirnya menjadi seperti ini. Aku akan melanjutkan perjuangan kalian, aku janji. Bismillah, aku harus mencoba menemui Ludwig dan bertanya padanya perihal kematian mereka berdua.
Aku berpaling dari makam Ilhan setelah mendoakannya lalu pergi melaksanakan salat Jumat. Segera aku memberitahukan kedatanganku dengan SMS melalui nomor smartphone Ludwig yang entah masih aktif atau tidak, lantas bergegas menuju rumahnya, menunggu kepulangannya di depan rumahnya sambil membawa makanan yang kubelikan untuknya.
Satu setengah jam aku menunggu di depan rumahnya, duduk di sisi jalan dengan sepedaku, layaknya orang edan. Hingga akhirnya aku melihat sebuah mobil Mercedes Benz S Class Cabriollet berjalan mendekati depan rumahnya. Aku melihat sekilas siluet Ludwig di balik jendelanya. Aku memberikan senyumanku walau aku tahu dia pasti berpikir, Ah, jangan si idiot ini lagi.
Dia membuka jendela pintu mobilnya lalu berteriak kepadaku, “Geh mir aus dem weg, Dummkopf![2]”
Aku tertawa mendengarnya berteriak seperti itu.
“Bist du verrückt?[3]” teriaknya lagi.
Aku berjalan menghampirinya sambil masih cekikikan, sedangkan dia melihatku keheranan, menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Broeder, hoe gaat het? Lang niet meer gezien, nietwaar?[4]”
“Was willst du, Lodewijk?[5]”