Antara Darah Dan Hati 2: Dream Reality Seri 1

Fahlevi Anggara Fajrin
Chapter #46

Chapter 8 Bagian 3 Weil ich mich immer noch Sorge

Belum sampai hari ini selesai dan aku, Ludwig Engels, sudah dibuat kesal olehnya. Orang itu benar-benar tidak peduli apa pun pada peraturan yang berlaku. Fick! Aku tahu dia ke mana. Dia pasti menuju tempat parkir untuk merokok. Aku akan ke sana untuk memberinya peringatan.

Aku berjalan dengan tergesa-gesa hingga akhirnya sampai di tempat parkir yang sepi dari khalayak ramai dan melihatnya sedang menikmati sebatang rokok sambil bersandar di dinding. Si idiot itu tidak banyak berubah sama sekali.

“Hei, Dummkopf![1]

“Hei, Ludwig. Wat wil je?[2]

“Yang kau lakukan tadi bener-bener kelewat batas.”

“Kenapa? Apa terlalu frontal? Apa aku nyakitin harga diri kalian? Atau ngebuat kalian ngerasa bersalah?”

“Kau tau, kan, apa yang terjadi kalau kau mengorek terlalu jauh?”

“Ya, lantas kenapa? Aku siap dengan resikonya,” jawabnya kemudian mengisap rokoknya lagi dan mengembuskan asapnya melalui lubang hidungnya.

“Lodewijk, kau enggak akan mati kayak dua temenmu, kau bakalan nerima penderitaan yang jauh lebih berat daripada kedua temanmu yang tewas itu.”

“Oh, jadi sebenarnya kau cukup mengetahui kejadian yang nimpa dua temanku? Aku kira jawabanmu hari Jumat seminggu yang lalu itu jawaban yang sebenernya. Kematian dua temenku itu di luar kewenanganmu sebagai penuntut umum,” ujarnya sambil menekuk kedua jemari telunjuk dan tengahnya dengan kedua tangannya di hadapanku.

Dia makin membuatku naik darah. Sialan! Aku benar-benar terlalu Deutschland über alles[3] untuk dia yang seorang Nederlands-Indië[4].

“Aku tau cara mainmu, Ludwig. Kau terlalu terpaku dengan peraturan yang berlaku layaknya orang Jerman pada umumnya, ordnung muss sein[5], benar? Masalahnya, aku tau orang-orang yang kuhadapi enggak akan pernah bermain ngikutin aturan karena yang utama adalah tujuan mereka tercapai. Jika mereka ngelakuin itu, bukannya adil kalau aku ngelakuin hal yang sama? Geen regel zonder uitzondering,[6]” ujarnya dengan rokoknya masih menempel di mulutnya sambil mengembuskan asap rokoknya lagi melalui lubang hidungnya. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu dateng ke sini buat ngasih aku peringatan semacam ini? Bukannya musuh enggak bakalan peduli, ya, sama apa yang bakal dia lakuin ke orang yang jadi targetnya dan ngerahasiain apa yang bakal dia lakuin ke targetnya? Kecuali, kalau si musuh masih peduli sama targetnya.”

“Aku enggak peduli denganmu.”

“Kalau gitu, kenapa kamu harus repot ke sini ngasih tau aku kalau aku bikin kalian naik pitam sampe aku bakalan dibikin lebih menderita daripada temen-temenku yang udah mati? Tanpa dikasih tau pun kayaknya udah cukup jelas bagiku mengenai resiko yang bakal kuterima.”

Fick dich, du Stück eines beschissenen Fickers![7]

Lihat selengkapnya