Waktu menunjukkan pukul 4 sore seusai urusanku di gedung pengadilan selesai. Aku, Lodewijk Engels, pergi keluar dari gedung pengadilan menuju tempat parkir, menaiki sepedaku, mengayuhnya keluar dari tempat parkir. Aku akan pergi ke restoran sederhana untuk makan sore.
Sampai di restoran, aku memarkirkan sepeda, lalu masuk ke dalam. Suasananya masih cukup sepi, hanya ada aku seorang diri. Aku berjalan menuju meja dan kursi tamu kemudian pramusaji datang sambil membawakan menu. Rambutnya berwarna cokelat, matanya seperti warna mata orang Belanda pada umumnya, biru gelap. Wajahnya cukup manis. Dia memakai pakaian ala waitress rok panjang berwarna cokelat yang menutupi paha dan betisnya serta kemeja lengan panjang berwarna putih.
Dia cukup mengenalku dan Ludwig. Namanya Liesbeth Jansen. Dia sebenarnya seorang muslimah sejak lahir. Dia siswi SMA jenis sekolah voorbereidend middelbaar beroepsonderwijs kader[1]. Dia bersekolah di SMA jenis itu karena ingin belajar vokasi bidang tata boga dan ingin belajar cara manajemen restoran yang benar untuk mengembangkan usaha restoran keluarganya. Dia juga bekerja sampingan di sini. Hanya saja, sepertinya dia belum dapat hidayah untuk mengenakan jilbab.
“Asalamualaikum, selamat sore, Kak Lodewijk. Bener, kan?”
“Wa’alaikumussalaam. Ya, bener, gaya rambutku belum ganti kok.”
“Oke, Kak Lodewijk, mau pesen apa?”
“Hm, aku bingung. Bisa tolong kasih saran?’
“Mau makanan western, Cina, atau Indonesia?”
“Indonesia aja, lebih sehat.”
“Hahaha. Oke, kalau mau makanan Indonesia sehat, mungkin mau sop senerek?”
“Ah, itu, kan, cuma adaptasi groentesop dari Belanda. Banyak di sana. Baru pulang, ketemu itu lagi, bosen.”
“Oke, kita ada gado-gado.”
“Ya, itu satu boleh.”
“Oke, gado-gado satu, apa lagi?”
“Bir pletok satu.”
“Oke, gado-gado satu sama bir pletok satu, mohon ditunggu.”