Ilya duduk termenung di atas kasur, memikirkan kejadian yang menimpanya. Dia sempat menyerang Sofia ketika dia berjalan dalam tidurnya. Sofia yang pada saat itu sedang kembali memasuki ruangannya setelah mengambil segelas air dari lantai bawah melihatnya berjalan sambil tidur. Sofia bilang, ketika dia berusaha membangunkannya dari tidurnya, dia tetap tidak terbangun dan malah berdiri bergeming. Sofia memegang pergelangan tangannya, berusaha menuntunnya kembali ke kamarnya. Saat itulah keanehan terjadi.
Ilya tiba-tiba menerjangnya hingga dia jatuh terbaring di atas lantai. Gelas yang dia pegang jatuh ke lantai dan pecah. Sofia berteriak dan meronta-ronta. Namun, karena tenaganya lebih besar, Ilya dapat dengan mudah mencekiknya tanpa harus bersusah payah memberikan perlawanan. Suara teriakannya menggema.
Aku—Lodewijk dan Tuan Wisnu yang masih terjaga keluar dari kamar dan menghampirinya yang sedang mencekik leher Sofia dengan kedua tangannya. Aku berusaha menarik tubuhnya, memisahkannya dengan Sofia, tetapi aku tidak mampu menahannya karena dia meronta dan memberikan perlawanan yang cukup hebat. Tuan Wisnu yang melihatnya lepas dariku dan kembali berusaha menerjang Sofia pada akhirnya turut menahan tubuhnya. Butuh waktu 30 menit untuk kami mengembalikannya ke kamar tidurnya dan 15 menit untuk mengikatnya di atas kasur. Dia masih meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari kasur sehingga aku harus menahan tubuhnya. Tuan Wisnu yang mengetahui bahwa Ilya sedang kesurupan melakukan rukiah sampai dia terbangun dari tidurnya.
Saat bangun, dia ditanyai oleh Tuan Wisnu mengenai apa isi mimpinya saat dia tidur sambil berjalan tadi malam. Dia menceritakan isinya kemudian Tuan Wisnu keluar bersamaku dan Sofia, mengunci Ilya di kamarnya untuk sementara. Kami berdiskusi sejenak mengenai apa yang telah terjadi. Mendengar isi mimpi Ilya—membuatku merasakan deja vu, seperti aku pernah mengalaminya.
“Iya, bener Ilya kesurupan,” ujar Tuan Wisnu.
“Tuan Wisnu tau? Mimpinya mengenai mayat hidup itu ngasih saya deja vu, seolah-olah kayak saya ngerasain pernah ngalamin mimpi yang mirip sama mimpinya,” ujarku menimpali.
“Anda bermimpi hal yang serupa, Pak Lodewijk?” tanyanya dengan nada sedikit terkejut.
“Enggak—enggak serupa, tapi ciri mayat hidup yang ada di mimpinya sama kayak yang muncul di mimpi saya. Cuma di mimpi saya, mayat hidupnya itu mayat Pak Ilhan sama Bu Chandra. Entahlah, saya enggak yakin juga,” jawabku.
“Bisa Anda ceritain isi mimpi Anda apa detailnya?” pintanya.
Aku menceritakan detail isi mimpi buruk yang kualami sesuai dengan apa yang kuingat walau samar-samar karena perasaan deja vu itu. Saat selesai menjelaskan, dia melihatku dengan tatapan sedikit terkejut—pada bagian mimpi—yang aku berdiri di depan sebuah dinding tinggi dan seekor anjing raksasa berwarna hitam dengan mata yang berpendar berwarna merah darah berlari menerjangku, berusaha memakanku. Aku sempat berhenti bercerita sejenak lalu dia memintaku melanjutkan ceritaku sampai selesai.