Waktu menunjukkan sore sudah tiba. Aku menerima pesan WhatsApp dari Tantri, sebuah file yang pada saat kutekan tidak dapat dibuka jika tidak ada kuncinya. Dia mengirimkan pesan padaku.
“File itu dienkripsi, tapi enkripsi sederhana. Kirim ke teman hacker-mu, dia pasti bisa membukanya,” pintanya.
“Oke,” jawabku.
Aku mengirimkan file yang Tantri kirim pada Ilya dan mengirimkan screenshot percakapanku dengannya. Beberapa detik kemudian Ilya mengirimkan jawaban.
“Oke.”
Setelah beberapa menit berlalu, Ilya mengirimkanku temuannya.
“Isi file-nya kode chiper yang nunjukin koordinat tempat kalian harus ketemu. Ini aku share lokasinya. Di dalem file-nya, dia minta aku buat dateng, tapi berhubung aku enggak bisa dateng gara-gara kesurupan, sampein salamku ke dia, ya,” pinta Ilya.
“Sip,” jawabku.
Dia mengirimkan lokasi tempat kami harus bertemu, tower viewer yang berada di puncak bukit. Setelah mengetahui lokasinya, aku mengambil kunci mobilku yang ada di kamar dan segera pergi ke kamar Tuan Wisnu untuk memberikan kunci kamar Ilya dan Muhamed sekaligus meminta pistolku dan memberitahukan kepadanya perihal tujuan kepergianku. Aku bergegas menuju mobil, memasukinya, kemudian mengendarainya hingga aku sampai di tujuan.
Aku keluar dari mobil, menguncinya, dan berjalan menuju salah satu bangku taman yang tersedia—duduk di bangku taman sembari menunggu. Kuambil foto pemandangan sekitar dan mengirimkannya pada Tantri. Aku menunggunya untuk waktu yang cukup lama. Khawatir kalau ternyata dia hanyalah umpan untuk menjebakku, aku hampir saja pergi meninggalkan tempat ini hingga aku mendengar sebuah suara memanggilku.
“Lodewijk Engels?”
Aku sedikit membalikkan badanku ke belakang dan melihat seorang wanita dengan tubuh yang cukup ramping tertutup oleh mantel coklat panjang, celana kulot hitam, memakai kacamata, bermata biru, dan mengenakan jilbab berdiri tepat di belakangku.